Dan yang tidak direncanakan justru terlaksana, malam itu akhirnya saya ke Tegal Sari, tanpa rencana sebelumnya, semacam keinginan yang tiba-tiba muncul yang harus segera dituntaskan.
Bagi orang-orang yang menyukai perihal yang berbau sejarah sepatutnya jika sedang berada di Ponorogo barang sebentar singgahlah ke Tegal Sari. Di dearah ini ada pesantren tua yang bernama Gebang Tinatar, tapi pesantren ini lebih dikenal dengan nama daerahnya; Tegal Sari.
Hasan Besari adalah pendiri pesantren yang terkenal itu. Beliau memilih mendirikan pesantren di tempat terpencil jauh dari kesan strategis. Namun meskipun terletak jauh dari pusat kota, Gebang Tinatar tetap eksis. Sayangnya tidak ada referensi yang jelas kapan tepatnya pesantren itu pertama kali berdiri, hanya selentingan dari cerita lisan yang patut kita curigai. Dikabarkan dalam babad Tegal Sari bahwa pada tahun 1742 Pakubuwana II pernah nyantri di pesantren ini. Maka jika di tahun 1742 pesantren ini sudah berdiri berarti sudah berumur lebih dari seabad. Diceritakan juga bahwa Gebang Tinatar dahulu diminati ribuan santri sampai pesantren tidak muat menampung santri yang berjumlah banyak itu, sehingga didirikanlah pondokan di sekitar pesantren.
Maka sastri dan warga desa dilingkungan pesantren saling berbaur, tidak ada sekat, tidak ada batas antara ruang kelas dan laboratorium sosial. Ini satu di antara kearifan pesantren tempo dulu. Santri tidak terspesialisasikan di dalam ruang-ruang kelas yang memisahkan antara ilmu sosial dan ilmu sain. Konon, di Gebang Tinatar santri juga ikut mencangkul di sawah, belajar tentang keterampilan agraris; bercocok tanan. Jadi selama santri belajar di pondok mereka tidak hanya mendapat pengetahuan tentang fikih, tapi juga tentang kehidupan. Sehingga ketika mereka keluar dari pondok mereka punya keterampilan buat hidup.
Meskipun santrinya terbilang sangat banyak, kualitas Gebang Tinatar sebanding dengan kuantitasnya, dibuktikan dengan keberhasilan melahirkan dua tokoh besar. Pujangga jawa; Rangga Warsito dan H.O.S Cokroaminoto, tokoh nasionalis yang pemikirannya juga mempengaruhi Soekarno. Meskipun mereka sama-sama alumni Gebang Tinatar akan tetapi mereka adalah santri dari dua generasi yang berbeda, H.O.S Cokroaminoto lebih belakangan nyantri di Gebang Tinatar.
Sehingga malam itu untuk mengenang dua tokoh besar tersebut maka kami memutuskan untuk mencari warung kopi di sekitar pesantren. Dan tidak sulit menemukan warung kopi, di utara masjid berdiri beberapa warung yang berjejer menghadap ke selatan.
Kami memilih warung yang lenggang. Udara dingin sisa-sisa hujan tadi sore masih terasa. Setelah kopi terhidang di meja, lantas segera kami tuang ke lepek dan kami seruput selagi masih hangat. Di warung itu bebebarengan dengan kami, ada beberapa orangtua berbaju takwa putih dan mengenakan sarung sedang mengobrol, tampak asyik klepas-klepus menejepit sebatang rokok kretek. Memunculkan suasana kesan khas pesantren tradisional.Tapi, tidak lama kemudian beliau-beliau itu pergi, disertai dengan penuh ramah menyalami kami, hal itu membuat kami canggung.
Dari warung, kami bisa menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang di halaman masjid, ada yang menuju makam, ada yang menuju masjid, ada yang mampir ke warung. Kompleks di masjid Gebang Tinatar terdiri dari tiga bagian; dalem gede, masjid, dan makam. Sementara arsitektur di masjid ini bergaya jawa dan memiliki tiang sejumlah 36 dan atap masjid berbentuk kerucut.
Kini santrinya sudah tidak seramai dulu, meskipun sebetulnya masih terasa bekas-bekas betapa dahulu Gebang Tinantar pernah menjadi pesantren yang terkenal. Dibuktikan dengan banyaknya peziarah yang datang di hari-hari tertentu. Misalnya, malam Jumat atau saat malam ganjil saat bulan puasa, pada hari-hari tersebut berduyun-duyun para peziarah yang datang dari dalam dan luar kota.
Tapi malam itu karena malam rabu, tidak terlalu banyak peziarah yang datang, namun juga tidak bisa dibilang sedikit. Kira-kira, misalkan hitungan saya tepat, ada sekitar enam puluh orang yang berada disekitaran masjid. Ada yang ngopi, ada yang ngobrol di parkiran, ada yang di dalam masjid dan ada yang tidur di teras masjid. Itu hasil pengamatan saat sedang ngopi di warung.
Ketika jam yang tergantung di dinding menunjuk angka dua belas, kami hendak pulang karena warung harus tutup, namun ternyata teman kami datang. Kita tidak jadi pulang, akhirnya kami melanjutkan ngopi di warung sebelah yang masih buka.
Semakin larut pengunjung semakin sepi. Jam tiga pagi kemudian setelah warung yang terakhir itu tutup maka kami pun pulang. Sesederhana apa pun peninggalan sejarah apabila kita tengok kembali, maka akan memunculkan banyak hal yang bisa kita pelajari, begitulah dan malam itu kami pulang membawa sedikit pengetahuan tentang masa lalu.