9 February 2018

Masyarakat Berambut Gondrong


Negara pernah mencampuri aktivitas privasi warganya dengan sangat ekstrim: ‘Di larang Berambut Gondrong!’. Pada tahun 1973, pemerintah menargetkan bersih dari rambut gondrong. Aparatus negara seperti ABRI melakukan razia di jalan-jalan untuk melakukan operasi ‘rambut gondrong’. Jika ada yang kedapatan berambut gondrong, maka akan dicukur di tempat. Hal ini dicatat oleh Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya; ‘Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an’.


Bagi saya, aktivitas berambut gondrong menandai beberapa hal dan itu bukan hanya soal politik, ideologi, atau spirititualitas, tapi juga murni semata-mata sebagai gaya.


Rambut gondrong yang murni sebagai gaya tentu tanpa disertai dengan motivasi ideologi atau politik atau spiritualitas trtentu. Biasanya terinspirasi dari iklan atau film atau poster. Jadi, rambut gondrong yang murni sebagai gaya ini fungsinya cuma sekadar menunjang penampilan. Berbeda dengan berambut gondrong dengan motivasi ideologi.


Fenomena berambut gondrong yang dimotivasi oleh ideologi dan politik ditandai lahirnya generasi hippies. Hippies merupakan gerakan counter-culture yang berkembang di Amerika Serikat pada era 1960-an.


Gerakan ini lahir sebagai antitesis dari generasi sebelumnya yang dinilai telah jauh dari alam tempat mereka berasal. Menurut mereka manusia modern telah dibutakan oleh ambisi menaklukkan, perang, dan menang. Oleh karena itu kemudian Hippies dikenal sebagai gerakan ‘Kiri Baru’. Budaya Hippies yang menjunjung kebebasan individu ini identik dengan rambut gondrong, perilaku seks bebas, penggunaan narkotika, dan busana yang lebar dengan warna mencolok.


Selain dua kategori tadi, ada satu kategori lagi, yakni berambut gondrong yang di motivasi oleh spiritualitas. Seorang teman ketika saya bertanya kepadanya tentang motivasinya berambut gondrong, ia menjawab, “ini sebagai ‘laku’.” Setahu saya ia memang pernah mondok di pondok salaf tradisional. Saya sendiri kurang tahu, laku seperti apa yang sedang dijalaninya. Paling tidak, saya tahu gondrongnya karena spiritualitas


Ketiga kategori tersebut bisa jadi mendistorsi makna ‘berambut gondrong’ yang lebih luas. Tapi, terlepas dari itu, ‘berambut gondrong’ sebetulnya bisa disederhanakan sebagai ‘ekspresi-diri’ . Namun, di dalam buku Yudisthira, pada masa orde baru; ternyata berambut gondrong identik dengan kriminalitas atau sesuatu yang buruk. Citra itu diperkuat lewat pembentukan opini publik lewat media massa. Bahkan, setiap pelajar sekolah wajib memangkas rambutnya dengan gaya ABRI, orang yang gondrong tidak akan dilayani di dinas pemerintahan,  artis-artis yang berambut gondrong dilarang tampil di TV.


Terlihat, pemerintahan orde baru sangat bersyahwat untuk mencampuri urusan privasi warganya atau sebetulnya ini adalah syahwat bersama? Maksud saya, selain syahwat pemerintahan orde baru, juga syahwat mayoritas masyarakat kita. Misalnya yang terjadi belum lama ini; pejabat publik yang mantan penyanyi mengikat rambutnya dengan karet, lalu hal itu mendapat tanggapan negatif dari masyarakat.


Saya pribadi, ketika sewaktu-waktu harus terlibat dalam pembiacaraan dengan kasus serupa, saya akan menjawab dengan sederhana saja, “gaya rambut macam apa pun tak akan mempengaruhi kecerdasan seseorang. Sama seperti mandi tujuh kali sehari tak akan mempengaruhi kecerdasan seseorang.”