24 November 2019

Dani, dan Sabda Jalan Pulang

Dani Saputra, saya mengenal Dani sebagai teman satu kelas dan sahabat. Pernah tinggal di rumah kontrakkan yang sama. Berserta teman lainnya, seperti, Huda, Humam, Nawir dan Maliki (sekarang barangkali Maliki sudah pulang ke Pati).

Rumah di tengah-tengah kampung Ponorogo. Mengingatkan saya dengan ladang Jati di depan halaman. Tak luas. Tapi rerimbunannya cukup menyejukkan. Kini ladang Jati itu tinggal tanah dan bonggol Jati karena sudah ditebang pemiliknya. Mengingatkan saya dengan berlukar rerumputan di sekitar rumah sebelum kami tinggali. Bahkan setelah kami tinggali kadang-kadang masih ada ular keluar-masuk rumah. Mengingatkan pada sawah di selatan rumah kontrakkan dan tak jauh dari sawah berdiri Ponorogo City Center yang baru dibangun.

Pernah Dani dan Humam membawa kembang Wijaya Kusuma ke rumah kontrakkan. Ditaruh di samping kamar saya. Ada kepercayaan jika melihat kembang itu mekar doa yang melihat bakal dikabulkan Tuhan. Kami menyaksikan bunga itu mekar. Saya lupa doa apa yang saya penjatkan. Soalnya, saya sudah lama tidak berdoa. Kecuali doa yang saya panjatkan untuk kedua orangtua. Saya pun tak tahu apa yang didoakan Dani dan teman-teman lain. Kini masing-masing dari mereka, sudah punya karya. Dani dengan novel-novelnya yang terbit silih berganti. Huda dengan chanel Youtube-nya yang ramai, Lincung Studio.

Di rumah kontrakkan itu, saya sedikit mengenal Dani. Mengenal ketekunannya merajut tulisan. Dan ketekuannya dalam membaca buku. Membaca Soe Hoek Gie, hingga Putu Wijaya. Saya pernah diberi soft file tulisannya berupa cerita pendek. Saat itu, Dani sedang gemar-gemarnya membaca salah satu bukunya Putu Wijaya.

Beberapa bulan yang lalu, kira-kira bulan Mei, ia memberi kabar ingin menerbitkan novel. Dani memberi kepercayaan kepada saya buat mengedit novelnya. Saya diberi waktu selama satu bulan. Tentu hasilnya jauh dari sempurna. Karena itu saya memohon maaf . Dan untuk mengapresiasi terbitnya Sabda Jalan Pulang, sebagai sahabat baik, dan sebagai ucapan terimakasih karena sudah dikirimi novelnya, saya akan mengulasnya.

Sabda Jalan Pulang

Seperti halnya rumah kontrakkan kami yang berada di lingkungan pedesaan, novel ini juga mengangkat latar sosial tentang masyarakat pedesaan. Dengan cara hidup mereka  yang monokultur. Cara hidup seperti itu, berbeda dengan kehidupan modern yang akarnya adalah kapitalisme. Modal adalah napas utama kehidupan modern. Sedangkan cara hidup pedesaan bekakar dari tradisi, dan akar tradisi itu mengambil nilai-nilai dari alam. Sehingga cara hidup seperti itu menciptakan harmonisasi antara manusia dan alam.

Sabda tokoh utama dari novel ini lahir di tengah pedesaan yang sedang mengalami keguncangan. Sejak kecil Sabda sudah banyak mempertanyakan banyak hal. Seperti misalnya tentang asal-usul kehidupan. Pencarian jati diri itu mempertemukannya dengan burung merpati bernama Kukila. Burung yang bisa berbicara. Bahkan memberikan nasehat pada Sabda. Misalnya seperti kutipan panjang dari halaman 66 ini:

Manusia tidur, tetapi dia harus bangun dengan cara yang benar.  Berikut ini adalah kisah si tolol yang bangunnya keliru. Si tolol datang ke sebuah kota yang besar, dan dia menjadi bingung oleh banyaknya orang di jalanan.  Dia khawatir kalau nanti terbangun dari tidur tidak bisa lagi menemukan dirinya di antara begitu banyaknya manusia. Karena itu dia pun mengikatkan seutas tali di mata kaki agar dirinya mudah dikenali kembali. Seorang yang suka bercanda, mengetahui apa yang dikerjakan si tolol, lalu menanti sampai tidur. Dilepaskannya tali yang mengikat kaki si tolol lalu diikatkan ke kakinya sendiri. Dia pun berbaring di lantai dan tidur. Si tolol bangun lebih dahulu, dilihatnya tali itu. Mula-mula dikira orang lain itulah dirinya sendiri. Kemudian dia menyerang orang itu, sambil berteriak, kalau  kamu itu diriku, lalu siapa dan mana pula aku?

Maka tak heran meski sebagai anak desa yang tak sekolah, ketika modernitas mulai masuk ke desanya, ia meresponnya dengan kritis. Misalnya saat perusahaan tambang berencana menambang emas di desanya. Banyak dari warga menggadaikan tanahnya. Kecuali keluarga Sabda. Keluarga Sabda bersikukuh menolak menggadaikan tanahnya. Akibatnya bapak Sabda yang bernama Slamet harus dipenjara.

Pada akhirnya Sabda kalah. Bapaknya dipenjara dan tak pernah kembali dari penjara. Lalu seperti sudah menjadi takdrinya, Sabda menempuh perjalanan. Perjalannya merupakan pencarian jati diri. Hingga ia bertemu dengan Raharjo penjual cendol di tengah kota.

Raharjo ternyata murid bapaknya. Dari Raharjo, ia mendapat informasi tentang keluarganya. Bahkan ia hampir menikahi anaknya yang bernama Titi. Tapi sayang, seperti berkali-kali dikatakan oleh Kukila, bahwa dia adalah keturunan terkahir, ia tak sempat menikahi Titi. Ia meninggal di tengah perjalanannya mencari jati diri.

Perlawanan Sabda terhadap tambang emas, merukapan perlawanan yang berakar dari cara hidup tradisional terhadap keserakahan.  Tradisi mengajarkan tentang cara hidup sama rata, tidak ada yang lebih kaya, dan yang lebih miskin. Berbeda dengan morderintas yang memakmurkan sebagian kecil yang punya modal.

Tambang emas di desa Sabda berdampak pada tranformasi cara hidup masyarakatnya. Dari  bercocok tanam, menjadi bergantung ke tambang emas. Akibatnya orang-orang di desa menjadi buruh. Menjadi buruh tidak membuat mereka sejahtera. Mereka tidak bisa menghidupi dirinya sendiri kecuali mereka menadapat bayaran setelah bekerja di tambang emas. Sebetulnya kekalahan Sabda adalah kekalahan warga desa. Sayangnya mereka tidak menyadari.

15 November 2019

Kepada L (1)


Andai kau di sini, aku ingin berbagi keluh kesah tentang hidup dan pengertiannya yang rumit. Napasku makin sesak dari hari ke hari, menghirup polusi dari mesin industri. Gerakku makin susah, ruang terasa makin sempit, terbentur dinding di sana-sini. Terlalu banyak polusi, terlalu banyak dinding yang membatasi kita. Apa aku sanggup melewati hari-hari keras tanpa kehadiranmu?
Merokok dalam kesendirian, tak seekor kucing pun menemani. Membeli L.A Lights di warung sebelah. Melihat orang-orang datang dan pergi. Berangkat ke kantor, pulang dari pabrik. Dan sebagian kecil orang yang kita kenal sebagai tokoh politik sedang rapat dalam ruang birokrasi dan berusaha mengatur ruang privasi. Politik menjadi terlalu kejam dan jadi alat kepentingan sebagian kecil orang. Apa kau sanggup melewati hari-hari keras tanpa kehadiranku?

Kita pernah bertemu di Jl. Pramuka, kulihat wajahmu memar lelah digebuki malam, dikejar deadline skripsi, katamu. Kau sedang mengerjakan skripsi tentang bahasa. Aku ingin mengajakmu ke pantai, agar sedikit terobati lelahmu. Dan kubelikan kembang paling cantik. Menghargai keperempuanmu. Dan sekejap kita menikmati hidup ini karena hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Tapi, sekejap kemudian kita memikirkan bagaimana hidup ideal. Hidup ideal tanpa dijerat urusan material. “Apa ada kehidupan yang seperti itu?” tanyamu.

Jika ada kehidupan ideal, pastilah kita tak perlu pura-pura peduli pada penderitaan orang lain. Karena pada masa itu, kehidupan telah menjadi setara.  Tak seperti dahulu kala, tak seperti Gadis Pantai Pramoedya yang selalu merendah dan menurut pada Bendoro Bupati Blora. Perempuan dan laki-laki adalah kembang dunia dengan warna-warni yang unik, saling melengkapi, bukan saling menindas. Begitu pula kehidupan bersama di atas  bumi, punya tanggung jawab yang sama, punya hak yang sama. Tapi sayang, kehidupan ideal cuma bisa kita temukan di buku, belum untuk hari ini, tapi besok, kita tak pernah tahu.

Di Rumah Makan Bening, kita pernah bicara soal masa depan anak-anak, bagaimana jika  mereka tinggal di lingkungan tak sehat, karena desa sudah tak ramah lagi, dan kota menjadi belantara. Apa kita bisa betanggung jawab atas kehidupan mereka, atau kita tak perlu punya anak. Karena tugas orangtua  lebih berat lagi. Membesarkan anak-anak, bukan cuma biologis, tapi juga mental dan spiritualitasnya agar jadi manusia yang purna. Tapi, apa kita sanggup? Sedangkan kita terus terombang-ambing  dalam keadaan yang tak jelas.

Kukira kita akan terus bersama-sama sepanjang waktu  tak ada The most loneliest day of my life...  seperti dalam lirik Lonely Day System of a Down. Tapi,  suatu pagi aku mendengar kabar bahwa kau sudah tak di kota ini lagi. Kau meninggalkanku. Aku bersyukur, sekaligus berduka, bersyukur karena urusan beratmu telah selesai, berduka karena kau meninggalkanku, dan kau kembali ke kampung halaman. Setelah itu, katamu, kau ingin mendidik anak-anak di kampung halamanm. Dan sesekali mempertanyakan tentang makna hidup ini dengan pengertiannya yang rumit.

Sedangkan aku, membusuk di kota ini. Kepalaku jadi miring, dikerjai dosen dan birokrasi kampus yang rumit. Aku sempat berpikir untuk meninggalkan urusan membosankan ini, dan mengejarmu ke kampung halaman. Tapi kuurungkan niat itu, karena setiap hubungan yang sehat, selalu ada ujian, dan ujian kita adalah jarak.

Seminggu setelah kau pulang ke kampung halaman, aku pergi ke pantai sendirian tanpa mengabarimu, untuk menghibur diri sendiri. Aku melihat ombak. Ombak yang keras. Berkali-kali ombak membentur batu karang. Terus… dan terus. Aku ingat suatu hari, saat kita makan Soto Borang, kau mengatakan, “perasaan adalah gelombang naik dan turun. Tak pernah stabil.”

Kupikir ombak di pantai itu adalah perasaan kita. Kita bisa mendengar gemuruhnya. Dan saat ombak itu, menyatu, teguh, tertuju pada satu hal, akan menjadi energi yang  besar. Apa yang kita harapkan dari energi yang besar, satu-satunya yang kita inginkan adalah menghancurkan dinding. Menghancurkan apa pun yang menghalangi langkah kita.

Kau pernah sekali memberi kabar sejak kepulanganmu. Katamu hari-hari menjadi sepi. Terlebih saat mendengar Wish You Were Here Pink Floyd kau merasa hidup sendiri. Terasing dari dunia ini. “Atau aku yang sedang mengasingkan diri,” katamu, “aku merasa aku sedang melawan dunia. Atau dunia yang melawanku?”

Dunia yang mengasingkan kita, atau kita yang diasingkan oleh dunia, tak penting lagi bagiku, asal kita selalu bersama-sama. Jarak tak akan membuat perasaan kita berubah.

Dan saat kita bersama, kita sedang mengumpulkan energi seperti ombak di pantai. Terus, dan terus… melawan tembok yang mengahalangi kita. Dan tembok itu pada akhirnya sedikit demi sedikit, meski perlu melewati puluhan generasi, tembok itu pasti hancur.  Dan kita berbagi dunia bersama-sama. Seperti lirik akhir, Imagine John Lennon, Sharing all the world… and the world live as one.

Andai kau di sini… tapi kau ada di sana di suatu tempat yang jauh. Jarak memisahkan kita. Satu-satunya yang kuharap dari dirimu adalah perasaan dan api cinta yang  menyala dan gelombang perasaan bagaikan ombak. Kusharap, begitu.

9 November 2019

Membaca Perempuan


Ketika membaca Bumi Manusia, sejak paragraf pertama, saya langsung terpikat. Pram mempunyai strategi literer indah dan cerdas. Diawal karirnya Idrus pernah berseloroh pada Pram, “kamu itu bukan mengarang tapi berak.” Tetralogi Buru adalah berak paling sukses sepanjang karir Pram.

Minke digambarkan sebagai seorang pribumi Jawa yang doyan—bahkan tersobsesi dengan semangat ilmu pengetahuan Barat. Ia salah seorang pribumi yang beruntung dapat mengenyam pendidikan di HBS. Perlu diketahui bahwa di jaman Hindia Belanda hanya anak orang-orang berpangkat atau anak priyayi yang dapat sekolah di HBS. Karena Minke anak seorang Bupati, maka ia pun sekolah di HBS.
Bumi Manusia merekam masa akhir Minke di HBS yang bagi seorang anak seumur Minke ia harus dihadapkan dengan konflik-konflik yang fantastis. Pendeknya, Minke dan nasib yang mengelilinginya adalah keajaiban.

Pertemuan Minke dengan Nyai Ontosoroh bermula ketika Rudy Suhrof seorang totok (keturunan Belanda asli) teman sekelas Minke di HBS mengajaknya bermain ke rumah Rudy Mellema.  Pada mulanya Suhrof berniat mengajak Minke untuk mengerjainya, sebab Mellema mempunyai seorang adik bernama Annelies yang diidam-idamkan oleh Suhrof, dan pikirnya seorang pribumi seperti Minke pasti menyenangkan dipermalukan di depan totok dan indo. Tangan takdir berkata lain, Annelies ternyata lebih menyenangi pribumi meski secara relasi sosial indo lebih dihormati ketimbang primbumi, untuk alasan ini Pram menjelaskan panjang lebar kondisi psikologis yang dialami Annelies mengapa ia lebih tertarik pada pribumi.

Perlu di ketahui bahwa Mellema dan Annelies adalah anak Nyai Ontosoroh. Nyai adalah gundik atau budak. Masalahnya pada saat itu hukum perbudakan sudah dihapus di Barat maka Nyai atau gundik statusnya menjadi paradoks di depan hukum. Nanti, persoalan inilah yang membuat Minke semakin dekat dengan keluarga Nyai, bahkan akhirnya Minke menjadi menantu Nyai.

Pram melukiskan Nyai Ontosoroh sebagai pribadi yang menakjubkan. Ia adalah adikodrati dari pribadi perempuan yang melampaui jamannya. Pram tak terlalu menjelaskan secara mendalam soal transaksi seks antara laki-laki dan perempuan dan motif dan implikasinya. Soal transaksi seks, koita bisa membacanya dalam novel Eka Kurniawan Cantik itu Luka. Maya Dewi atapun Nyai Ontosoroh punya kesetaraan nasib, mereka sama-sama sebagagi korban transaksi seks, yang berbeda adalah latar sosial dan bagaimana mereka merespon keadaannya. Nyai Ontosoroh melampiaskan dengan mempelajari pengetahuan-pengetahuan Barat, melalui cara itu pula ia melampiaskan dendam. Sementara Maya Dewi menekuni pelacuran. Memanfaatkan daya tarik fisiknya sebaik mungkin, karena takdir mempunyai fisik indah itulah ia menjadi korban, dan dengan memanfaatkan daya fisik pula ia melampiaskan dendam. Cantik itu Luka lebih mendalami sisi psikologis, sedangkan Nyai Ontosoroh lebih pada emansipasi antara laki-laki dan perempuan.

Kedua tokoh yang mengundang simpati ini, sama-sama terlahir di masa sejaran politik, sehingga kesadaran psikologisnya juga berkaitan dengan sejarah politik. Nyai Ontosoroh adalah tokoh di mana kaum pribumi masih lelap dalam tidur panjangnya. Sebagai seorang perempuan, tentu suatu kejanggalan bahwa ia lebih dahulu menyadari hak-haknya sebagai manusia, bahkan ia memperjuangkan haknya di depan hukum, yang belum pernah dilakukan satu pun perempuan di Jawa pada saat itu.

Saya teringat dengan tiga gadis bersaudara dalam Serat Centhini. Jika kedua tokoh Nyai Ontosoroh dan Maya Dewi sepanjang narasinya  bergerak di atas kesadaran politik maka, Baniyem, Banikem, dan Bayani adalah perempuan-perempuan murni dengan kesadaran seks.  Baniyem, Banikem, dan Bayani muncul begitu saja sebagai seorang perempuan, mereka adalah tokoh-tokoh dalam Serat Chentini yang sering luput dari perhatian. Meski mereka adalah tokoh-tokoh pemanis saja tapi bagi saya mereka memerankan kondisi psikologis yang penting. Mereka adalah alegori tanpa embel-embel kesadaran yang rumit, melainkan lahir dari kesadaran hewani yang murni.

Dideskripsikan sebagai perempuan buruk rupa, yang bagi lelaki normal tak mengundang gairah. Cerita bermula ketika Jayengraga dan Jayengresmi dan paman dan seorang pembantu menginap di rumah orangtuanya. Suatu kali mereka pernah melihat orangtuanya berhubungan badan. Karena melihat ada tamu laki-laki di rumah mereka, maka mereka kepingin mempraktekan adegan tersebut dan ketika Jayengraga berbaring di tempat tidur yang disedikan tuan rumah, mereka menyusulnya.
Jayengresmi yang sebelumnya sudah berkali-kali melakukan hubungan badan ia segara sadar gelagat bocah-bocah bau kencur itu. Dikatakan bahwa sebetulnya Jayengraga tak punya minat pada mereka, ia melakukannya semata-mata demi kepentingan mereka, ia kasihan membayangkan kelak dengan tampilan yang semacam itu mereka bakal jadi perawan tua dan sepanjang hidupnya tak pernah merasakan berhubungan badan. Jayengraga mengajari mereka sebagai seorang guru seks yang baik.

Jika nasib Baniyem dan adik-adiknya dibaca pada masa lalu, sekilas terkesan tak bermakna memang itu adalah hal yang wajar. Tapi kita membaca lagi mereka di masa kini, maka akan kita temukan relevansi yang unik, sebab kecantikan kini lebih rumit lagi lebih dari sekedar fasilitas penunjang seks yang dimiliki oleh perempuan, dalam industri kapitalis perannya  sangat penting, ada semacam otoritas dari kekuatan kapitalisme untuk menggiring makna kecantikan sebagaimana yang mereka kehendaki demi kepentingan kapitalisme. Iklan-iklan produk kapitalisme sering memanfaatkan makna kecantikan sehingga derajat kecantikan dibawa ke tempat yang lebih rendah lagi yakni kecantikan adalah sihir agar dagangan laku. Dengan cara yang masif dan terus-menerus maka kecantikan pada akhirnya akan bermakna sesuai definisi dari kapitalisme sehingga perempuan yang menghendaki dirinya cantik mereka harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditetapkan oleh otoritas kapitalisme. Mereka yang tak punya syarat-syarat untuk disebut cantik bakal terasing dari dunianya. Sedangkan dalam Serat Centhini, kisah Baniyem, Banikem, dan Bayani, untuk menjadi perempuan mereka tak perlu memenuhi syarat apa pun, cukup menjadi mereka sendiri.