Dani Saputra, saya mengenal Dani sebagai teman
satu kelas dan sahabat. Pernah tinggal di rumah kontrakkan yang sama. Berserta
teman lainnya, seperti, Huda, Humam, Nawir dan Maliki (sekarang barangkali
Maliki sudah pulang ke Pati).
Rumah di tengah-tengah kampung Ponorogo.
Mengingatkan saya dengan ladang Jati di depan halaman. Tak luas. Tapi
rerimbunannya cukup menyejukkan. Kini ladang Jati itu tinggal tanah dan bonggol
Jati karena sudah ditebang pemiliknya. Mengingatkan saya dengan berlukar
rerumputan di sekitar rumah sebelum kami tinggali. Bahkan setelah kami tinggali
kadang-kadang masih ada ular keluar-masuk rumah. Mengingatkan pada sawah di
selatan rumah kontrakkan dan tak jauh dari sawah berdiri Ponorogo City Center
yang baru dibangun.
Pernah Dani dan Humam membawa kembang Wijaya
Kusuma ke rumah kontrakkan. Ditaruh di samping kamar saya. Ada kepercayaan jika
melihat kembang itu mekar doa yang melihat bakal dikabulkan Tuhan. Kami
menyaksikan bunga itu mekar. Saya lupa doa apa yang saya penjatkan. Soalnya,
saya sudah lama tidak berdoa. Kecuali doa yang saya panjatkan untuk kedua
orangtua. Saya pun tak tahu apa yang didoakan Dani dan teman-teman lain. Kini
masing-masing dari mereka, sudah punya karya. Dani dengan novel-novelnya yang terbit
silih berganti. Huda dengan chanel Youtube-nya yang ramai, Lincung Studio.
Di rumah kontrakkan itu, saya sedikit mengenal
Dani. Mengenal ketekunannya merajut tulisan. Dan ketekuannya dalam membaca
buku. Membaca Soe Hoek Gie, hingga Putu Wijaya. Saya pernah diberi soft file tulisannya
berupa cerita pendek. Saat itu, Dani sedang gemar-gemarnya membaca salah satu
bukunya Putu Wijaya.
Beberapa bulan yang lalu, kira-kira bulan Mei, ia
memberi kabar ingin menerbitkan novel. Dani memberi kepercayaan kepada saya
buat mengedit novelnya. Saya diberi waktu selama satu bulan. Tentu hasilnya
jauh dari sempurna. Karena itu saya memohon maaf . Dan untuk mengapresiasi
terbitnya Sabda
Jalan Pulang, sebagai sahabat baik, dan sebagai ucapan terimakasih karena
sudah dikirimi novelnya, saya akan mengulasnya.
Sabda Jalan Pulang
Seperti halnya rumah kontrakkan kami yang berada
di lingkungan pedesaan, novel ini juga mengangkat latar sosial tentang
masyarakat pedesaan. Dengan cara hidup mereka yang monokultur. Cara hidup
seperti itu, berbeda dengan kehidupan modern yang akarnya adalah kapitalisme.
Modal adalah napas utama kehidupan modern. Sedangkan cara hidup pedesaan
bekakar dari tradisi, dan akar tradisi itu mengambil nilai-nilai dari alam. Sehingga cara hidup seperti itu menciptakan harmonisasi antara manusia dan alam.
Sabda tokoh utama dari novel ini lahir di tengah
pedesaan yang sedang mengalami keguncangan. Sejak kecil Sabda sudah banyak
mempertanyakan banyak hal. Seperti misalnya tentang asal-usul kehidupan.
Pencarian jati diri itu mempertemukannya dengan burung merpati bernama Kukila.
Burung yang bisa berbicara. Bahkan memberikan nasehat pada Sabda. Misalnya
seperti kutipan panjang dari halaman 66 ini:
Manusia tidur, tetapi
dia harus bangun dengan cara yang benar. Berikut ini adalah kisah si
tolol yang bangunnya keliru. Si tolol datang ke sebuah kota yang besar, dan dia
menjadi bingung oleh banyaknya orang di jalanan. Dia khawatir kalau nanti
terbangun dari tidur tidak bisa lagi menemukan dirinya di antara begitu
banyaknya manusia. Karena itu dia pun mengikatkan seutas tali di mata kaki agar
dirinya mudah dikenali kembali. Seorang yang suka bercanda, mengetahui apa yang
dikerjakan si tolol, lalu menanti sampai tidur. Dilepaskannya tali yang
mengikat kaki si tolol lalu diikatkan ke kakinya sendiri. Dia pun berbaring di
lantai dan tidur. Si tolol bangun lebih dahulu, dilihatnya tali itu. Mula-mula
dikira orang lain itulah dirinya sendiri. Kemudian dia menyerang orang itu,
sambil berteriak, kalau kamu itu diriku, lalu siapa dan mana pula aku?
Maka tak heran meski sebagai anak desa yang tak
sekolah, ketika modernitas mulai masuk ke desanya, ia meresponnya dengan
kritis. Misalnya saat perusahaan tambang berencana menambang emas di desanya.
Banyak dari warga menggadaikan tanahnya. Kecuali keluarga Sabda. Keluarga
Sabda bersikukuh menolak menggadaikan tanahnya. Akibatnya bapak Sabda yang
bernama Slamet harus dipenjara.
Pada akhirnya Sabda kalah. Bapaknya dipenjara dan
tak pernah kembali dari penjara. Lalu seperti sudah menjadi takdrinya, Sabda
menempuh perjalanan. Perjalannya merupakan pencarian jati diri.
Hingga ia bertemu dengan Raharjo penjual cendol di tengah kota.
Raharjo ternyata murid bapaknya. Dari Raharjo, ia
mendapat informasi tentang keluarganya. Bahkan ia hampir menikahi anaknya yang
bernama Titi. Tapi sayang, seperti berkali-kali dikatakan oleh Kukila, bahwa
dia adalah keturunan terkahir, ia tak sempat menikahi Titi. Ia meninggal di
tengah perjalanannya mencari jati diri.
Perlawanan Sabda terhadap tambang emas, merukapan
perlawanan yang berakar dari cara hidup tradisional terhadap keserakahan. Tradisi mengajarkan tentang cara hidup sama rata, tidak ada yang lebih kaya,
dan yang lebih miskin. Berbeda dengan morderintas yang memakmurkan sebagian
kecil yang punya modal.
Tambang emas di desa Sabda berdampak pada tranformasi cara hidup masyarakatnya. Dari bercocok tanam, menjadi bergantung ke tambang emas. Akibatnya orang-orang di desa menjadi buruh. Menjadi buruh tidak membuat mereka sejahtera. Mereka tidak bisa menghidupi dirinya sendiri kecuali mereka menadapat bayaran setelah bekerja di tambang emas. Sebetulnya kekalahan Sabda adalah kekalahan warga desa. Sayangnya mereka tidak menyadari.
Tambang emas di desa Sabda berdampak pada tranformasi cara hidup masyarakatnya. Dari bercocok tanam, menjadi bergantung ke tambang emas. Akibatnya orang-orang di desa menjadi buruh. Menjadi buruh tidak membuat mereka sejahtera. Mereka tidak bisa menghidupi dirinya sendiri kecuali mereka menadapat bayaran setelah bekerja di tambang emas. Sebetulnya kekalahan Sabda adalah kekalahan warga desa. Sayangnya mereka tidak menyadari.