5 January 2018

Animal Farm yang Sakarsme

Kadang saya kasihan pada babi yang sering digunakan sebagai alegori untuk menggambarkan sifat manusia, begitu pula saya kasihan pada binatang lainnya seperti; kadal, monyet, anjing, coro, dan yang lain sebagainya.

Bukankah mereka mempunyai sifat demikian itu karena tawaduk, maksudnya, mereka tidak menyalahi kodrat yang sudah digariskan oleh alam, tidak sombong dan tidak melebih-lebihkan apa yang mereka miliki. Jika monyet serakah itu memang sifatnya monyet, jika babi pemalas itu memang sifatnya babi, dan jika coro suka sembunyi di lubang pispot, bukankah begitu yang sudah digariskan oleh alam bagi kehidupan coro?

Akan jadi gempar jika ada binatang yang menyalahi kodrat alamnya. Misalnya, ada babi yang berjalan menggunakan dua kaki dan berbicara mengenai politik. Itu bakal menggemparkan dunia dan bisa dikecam babi-sesat. Sebab telah menyalahi kodrat babi yang berjalan merangkak dan berbunyi menguik-nguik dan babi seharusnya tidak berbicara mengenai politik.

Soal babi yang berjalan dengan dua kaki dan berbicara mengenai politik, ini pernah terjadi di dunia dan mungkin hanya terjadi satu kali. Riwayatnya bisa dibaca di dalam kitab ‘Animal Farm’ karya Goerge Orwell atau ‘Binatangisme’ yang diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi.

Saya kasih bocoran sedikit; menjelang akhir januari, tak bisa dielakan lagi bahwa memang sudah amat perlu mengusahakan gandum dari mana saja. Di hari-hari itu, babi Napoleon amat jarang muncul di muka umum. Ia banyak menghabiskan waktu di dalam gedung peternakan, yang pintu-pintunya dijaga oleh anjing-anjing yang bermuka ganas. Kalau saja ia muncul keluar, pastilah dalam gaya upacara. Dikawal oleh 6 ekor anjing yang ketat mengelilinginya… (Binatangisme, hal 88). Begitualah sedikit cuplikan riwayat babi-babi-sesat.  Sengaja bagian yang paling seru tidak saya kutip. Jika Anda penasaran sebaiknya Anda baca sendiri kitab ini .

Jika Anda sudah membaca kitab ini, saran saya, silahkan Anda membandingkan tokoh-tokoh George Orwell dengan tokoh politik kita. Adakah tokoh politik kita yang mirip dengan tokoh-tokoh George Orwell? Saya yakin Anda akan mendapatkan sebuah kebahagian jika berhasil menemukankannya, seperti ketika tanpa sengaja menemukan kalung yang hilang bertahun-tahun lalu, “Oh… ternyata ini!”

Itulah kenikmatan membaca karya sastra. Selain menghibur juga menambah asupan gizi, sehingga tidak mudah diombang-ambing oleh isu-isu politik picisan. Begitulah seharusnya karya sastra dibaca.

Sekali lagi, untuk mengakhiri tulisan ini, biarkan babi tetap menjadi bagi. Sebab jika babi berpolitik nanti akan menyalahi kodrat dan kisahnya akan ditulis seperti George Orwell menulis Animal Farm.

*Semacam resensi

4 January 2018

Nasib Tambang Batu di Desa Kami

Berdasarkan data UPT-P3TKI Surabaya tahun 2013, tercatat sebanyak 52.571 warga menjadi  buruh migran.


Di Jawa Timur terdapat 39 daerah yang berkontribusi terhadap pengiriman buruh migran. Kabupaten Malang merupakan penyumbang buruh migran paling banyak dari Jawa Timur, kemudian Kabupaten Blitar sebanyak 5.179, Kabupaten Ponorogo sebanyak 5.151 orang, serta Kabupaten Tulungagung sebanyak 3.293 orang.


Banyaknya minat masyarakat untuk menjadi buruh migran menjadi indikasi bahwa di Indonesia masih sangat minim lapangan kerja. Khususnya di daerah-daerah pinggiran masih sangat kering terhadap penyerapan tenaga kerja. Seperti halnya  data yang ditunjukan oleh UPT-P3TKI; di kabupaten Ponorogo ada sebanyak 5.151 orang menjadi buruh imigran.


Tentu itu karena mereka tidak kebagian lapangan kerja, atau karena tidak menyadari potensi yang ada di daerahnya sendiri, sehingga mereka lebih memilih menjadi buruh migran agar kesejahteraan mereka terjamin (perlu dipertanyakan definisi kesejahteraan di Indonesia itu seperti apa?). Padahal ada banyak potensi ekonomi jika dikelola dengan sungguh-sungguh bisa menyerap tenaga kerja mulai dari produksi rumahan, pertanian, bahkan pertambangan.


*

Penulis sempat berkunjung di desa Tajung Sari Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo (Mei 2014). Ternyata dari jumlah total buruh imigran di Ponorogo,  sekitar 11,65 % atau 600 buruh migran berasal dari desa Tanjung Sari. 


Memang sekilas tidak ada yang spesial di desa Tanjung Sari. Tapi sebenarnya jika diamati lebih rinci di desa Tanjung Sari menyimpan beberapa potensi mulai dari produksi kerupuk rumahan, lahan pertanian, sampai kekayaan alam berupa tambang batu dan pasir. Tambang batu dan pasir di desa ini terbagi menjadi dua titik eksploitasi, dua titik itu; di selatan dan timur desa. Di selatan beberapa tahun lalu ditutup dan akan diubah menjadi lahan sawah. Untuk di timur saat tulisan ini dibuat aktivitas penambangan masih tumbuh subur.


Bukankah tambang ini setidaknya mampu menyerap banyak tenaga kerja sehingga mereka tidak perlu menjadi buruh migran? Namun tambang di Indonesia telah menjadi rahasia umum sebagai salah satu proyek kapital. Hanya korporasi, perangkat desa, atau orang dengan modal yang banyak bisa menikmati eksploitasi ini. Andai saja perizinan tambang ini ditunjukan untuk masyarakat Tanjung Sari secara umum dan bukan dimiliki perusahaan atau perseorangan, mungkin mampu untuk menyumbang katong pendapatan masyarakat Tanjung Sari. Terhadap izin pertambangan ini bukan hal mustahil jika masyarakat Tanjung Sari memiliki kesadaran lebih untuk menjadikannya sebagai tambang yang dikelola secara bersama.

 
Kabarnya tambang yang ada di timur mampu memasok batu hingga 30 truk dalam sehari. Jika 1 truk dihargai Rp 2.00.000 maka dalam sehari tambang itu mendapatkan omset Rp 6.000.000.

Selain tambang batu dan pasir, ada sektor lain yang cukup potensial. Yakni lahan tebu yang luas. Ada beberapa hektar lahan tebu  yang terdapat di desa Tanjung Sari. Hal ini sepertinya menarik untuk dicermati lebih rinci, begini perincian kalkulasi tebu di desa Tanjung Sari itu:

 
Kira-kira 1 kotak luasnya 375 m2 dihargai dengan Rp 1.500.000 dalam satu tahun. Dan untuk 1 hektar membutuhkan 7 kotak, berarti  Rp 1.500.000X7 sama dengan Rp 10.500.000. Artinya petani yang mempunyai lahan 1 hektar untuk perkebunan tebu rata-rata mereka mengantongi uang sebesar Rp 10.500.000 dalam periode waktu satu tahun. Artinya penghasilan per bulan kurang dari 1 juta. Padahal kebun tebu itu bisa diubah untuk lahan pertanian dengan jenis tanaman yang lain yang lebih potensial. 


Sejarah perkebunan tebu di Indonesia punya sejarah yang manarik. Misalnya dari skripsi Soe Hok Gie Di Bawah Lentera Merah;


Pada tahun 1917 sebagian besar perkebunan Jawa disulap menjadi lahan tebu. Sistem monopoli yang digunakan saat itu tentu merugikan petani. Sistem sewa lahan tebu oleh pemerintah Hindia Belanda tidak sebanding dengan hasil yang petani peroleh. Bahkan pihak koloni cenderung mengekploitasi petani. Petani harus bekerja sendiri di ladangnya. Seperti kebun tebu di Tanjung Sari, tentu adalah warisan dari sejarah kolonial.


Dari pemaparan di atas, sebetulnya lapangan kerja itu tersedia di  Tanjung Sari: lahan-lahan pertanian yang luas, dan tambang batu. Sayangnya tambang batu yang ada di sana dimonopoli oleh beberapa pihak saja. Akibatnya, warga Tanjung Sari alih-alih ikut menikmati hasil tambang itu, mereka cuma bisa melihat truk-truk pengangkut batu hilir-mudik di jalan desa mereka, sementara truk-truk itu mengangkut batu-batu yang dikeruk oleh beberapa pihak dari alam desa mereka. Jelas, sebagian besar masyarakat di Tanjung Sari dirugikan oleh aktivitas pertambangan itu, sebab keuntungan dari pertambangan itu masuk ke kantong beberapa orang saja.


Hal semacam ini banyak kita temukan di daerah-daerah lain yang memiliki potensi serupa yang juga banyak mengalami nasib yang sama. Maka wajar saja jika banyak masyarakat yang lebih memilih jadi buruh migran daripada di desa yang jelas-jelas tidak menguntungkan mereka.


*Artikel ini saya tulis ulang dari arsip 2014 ketika saya masih berproses di pers kampus.