24 August 2018

Pembunuhan di Pagi Buta

Truk yang mereka tumpangi menempuh jarak yang amat jauh, melewati bukit-bukit terjal, dan jalan yang berkelok-kelok Mereka tiba di suatu tempat yang asing. Bagai seekor burung yang terdampar di jazirah asing, ibu muda yang keluar dari truk itu lekas mencari tempat bersarang bagi anaknya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain,  begitulah sampai bertemu dengan orang tua berjanggut lebat.

“Apakah gunanya manusia bersusah payah?” Tanya orangtua berjanggut lebat ketika mendapati seorang ibu yang kuyup dan gadis kecil yang kacau. Mereka telah berkeliling kampung. Tapi tak seorang pun di kampung yang mereka temui bersedia menolong.


“Matahari terbit dan tenggelam, lalu terbit kembali,” orangtua berjanggut lebat itu melanjutkan, “seluruh sungai di muka bumi mengalir ke laut, tetapi laut tak juga menjadi penuh. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”


Si orangtua berjanggut lebat memakai baju hitam, kontras dengan rambut dan jenggotnya yang putih. Sedangkan ibu muda beserta anaknya itu memakai baju  kumal seperti tak pernah dicuci selama satu bulan. Si orangtua berjanggut lebat menyentuh pundak ibu muda itu,  “ mari mampir ke rumahku,” katanya.


Mereka melewati kampung nelayan yang berbau amis. Pintu-pintu rumah sepanjang kampung tertutup. Beberapa orang sedang asyik berbincang-bincang. Tapi sebagian besar penghuni kampung itu berada di pantai atau di tengah laut. Di kampung itu anak-anak dan perempuan ikut melaut. Sehingga jika mereka sedang melaut kampung menjadi sepi. Mereka hidup dari berburu ikan. Hanya orangtua berjanggut lebat itu yang tak melaut. Rumah orangtua berjanggut lebat itu di pojok kampung nelayan. Hidup sendiri seperti petapa.


Suatu hari ibu muda dan anaknya yang masih kecil itu akan mengenang si orangtu berjanggut lebat sebagai si tua bijaksana. Sebab ia tak hanya memberinya makan dan minum, tapi juga tempat untuk menetap. Berkat orangtua berjanggut lebat itu, ia tahu caranya hidup, dan membesarkan anak, dan membangun rumah sendiri di kampung nelayan. 


Begitulah, awal mula kisah mereka menetap di kampung nelayan. Tak lebih dari keberuntungan belaka.


“Ibu muda itu adalah nenekku,” kata Maria sambil memainkan pasir. “Jika orangtua bijaksana tak menolong mereka, barangkali nasibku akan berbeda. Mungkin ibu akan mati kelaparan. Dan aku tak akan pernah dilahirkan." 


“Kemanakah ayahmu, Maria?” tanya Syarif.


Maria menggeleng, “aku tidak tahu. Tentu ayahku salah satu laki-laki di kampung ini.”


“Kisah keluargamu memang tidak asing di kampung ini, Maria,” kata Syarif memandang Maria. “Dari semua itu yang aku heran, untuk apa nenekmu membawa ibumu ke kampung ini?”


“Aku tidak tahu, Syarif. Aku tidak pernah bertanya soal itu,” jawab Maria. “Dan aku tak akan pernah menanyakannya.”


“Maria?”


Maria menoleh pada Syarif, “ada apa, Syarif?”


“Semalam aku bermimpi. Sungguh mimpi yang aneh,” kata Syarif ragu-ragu.


“Ceritakanlah, Syarif.”


“Seorang lelaki berpakaian hitam berjalan di atas ombak. Sedang burung gagak berputar-putar di sekelilingnya.  Ada sesuatu yang akrab, tetapi sangat mengerikan di wajahnya. Saat jarak kami sangat dekat, kulihat matanya hitam memancarkan kegelapan. Dengan penuh amarah lelaki berpakaian hitam itu memenggal kepalaku. Aku terbangun dan keringat membasahi tubuhku.”


“Sungguh mimpi yang aneh,” kata Maria sambil memandang laut yang mengantarkan ombak-ombak besar.


“Syarif! Syarif!”


Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara teriakan. Mereka melihat Sahid  berdiri di kejauhan di antara deretan pohon nyiur. Maka dengan cepat Syarif menjawab, “iya, Ayah!”


“Waktunya menjaring ikan, Syarif!”


“Baiklah.”


Syarif menghambur menuju ayahnya. Ia semakin menjauh. Jejaknya membentuk garis lurus di atas pasir. Segera Maria disergap kesepian. Ia memalingkan wajahnya ke laut begitu Syarif menghilang dikejauhan. Di sana ia melihat ombak-ombak besar yang menyapu pasir pantai. 


Peristiwa kecil di kedai 

Para nelayan itu jika sedang tidak melaut banyak menghabiskan waktunya di kedai. Memesan  teh tubruk, wedang jahe, kopi hitam, hemaviton, ekstra joss, bir bintang, topi miring, arak…..


“Maria!”


“Iya, Bu.”


“Kau boleh istarahat.”


Baru saja hendak berbalik untuk istirahat, Maria mendengar suara Sahid terbatuk-batuk. Pura-pura batuk adalah kebiasaan khasnya. Sebelum duduk, ia akan menyapa teman-temannya yang ada di kedai. Tentu saja kebiasaannya itu sudah dihafal Maria di luar kepala. Namun tak biasa Syarif ikut serta bersama ayahnya.


“Lah, masih di sini. Kan sudah kubilang, istirahat sana!” tegur ibu. “Tapi… jika kau mau, buatkan wedang jahe untuk Syarif.”


“Baik, Bu.”


Dengan canggung, ia pun melangkah ke dapur untuk membuat wedang jahe. Tentu ibu sudah tahu hubunganku dengan Syarif, pikirnya. Di dapur, Maria memasak air hingga mendidih. Memasukan jahe ke dalam cangkir besar, dan menambahkan gula. Tidak butuh waktu lama untuk membuat wedang jahe.


“Terima kasih, gadis manis,” kata Sahid sembari menyeringai sehingga wajahnya yang terlalu sering terbakar matahari menjadi berkerut-kerut. Maria menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Ia terlihat gugup. Dan cepat berbalik menghindari Sahid. Sedangkan Syarif merunduk tak berani menatap Maria. Seolah ia ingin menyembunyikan wajahnya di balik meja. Syarif cepat berubah dari satu keadaan, ke keadaan yang lain.  Kini ia mirip bocah kecil kena marah ayahnya. Melihat ekspresi anak lelakinya, mendadak Sahid berhenti menyeringai. Sembari memandangi anaknya, jarinya diketuk-ketukkan di atas permukaan meja.


Di meja lain, para nelayan berceloteh seenak mereka. Sesekali terdengar pisuhan, ejekkan, ledakan marah, dan tertawa yang panjang.


Bahkan ketika Maria sudah di kamar, suara mereka menghasilkan bunyi seperti dengung lebah. Membikin Maria sulit terlelap. Ia berguling ke kiri dan ke kanan. Saat-saat seperti itu, ia akan merindukan suasana lain. Mungkin saja jika ia melanjutkan sekolah suasananya akan berbeda.


Tak ada dengung lebah. Melainkan suasana sunyi di asrama. Hari-hari dipenuhi dengan belajar dan belajar. Berdoa dan berdoa.


Ia ingat bagaimana rencana melanjutkan sekolah itu gagal. Saat itu ketika Maria sedang bimbang, Syarif dengan suaranya yang berat berhasil menahannya. “Kau tega meninggalkanku, Maria?” Maria diam. “Kau tidak boleh pergi, Maria,” bujuk Syarif. “Kau tidak boleh pergi, manisku, yang mempunyai mata seperti bulan sabit.” Maria diam. “Aku mencintaimu, Maria.” Maria diam. Syarif putus asa. Beberapa detik mereka saling diam. Hanya debur ombak yang tak henti-henti menengahi mereka. Lalu seperti tahu apa yang ingin didengar oleh Syarif, Maria segera berkata, “aku tetap di sini, Syarif.”


Kemudian Syarif akan  merayuannya lagi dengan membabi buta. Dengan rayuannya yang manis. Sehingga membikin pipi Maria merona merah. Begitulah, akhirnya mereka memilih untuk tidak melanjutkan sekolah.


Maria menepis kenangannya itu. Lalu ia mencari-cari suara Syarif di luar sana: di meja di ruang kedai yang tak begitu luas. Tapi yang terdengar tinggal sayup-sayup suara ibu berdebat dengan pelanggan terakhir yang tentu saja sedang mabuk. Kemudian terdengar derit suara pintu kedai ditutup. Dan suara klentang-klenting gelas dan botol yang dibereskan dari meja. 


Boneka yang hilang di pagi hari 

Pagi hari sebelum orang-orang bangun dari tidurnya, sesosok jasad tergeletak di pantai. Tubuhnya terhempas-hempas oleh ombak. Tiap ombak menghempas tubuhnya, tangannya bergerak-gerak seperti ingin menggapai sesuatu. Seolah jasad itu masih hidup. Tapi tubuh itu tinggal sesosok jasad yang sudah  mati.


Saat cahaya matahari mulai berkilauan di ufuk timur, jasad itu terlihat semakin jelas. Jasad yang tergeletak itu adalah Maria. Jasad yang masih memancarkan cahaya kecantikan. Orang tak akan percaya jika yang tergeletak di atas pasir itu adalah sesosok mayat. Meski kulitnya mulai membiru, tapi tetap saja ia seperti gadis belia yang sedang tidur. Hanya tertidur. Maka orang pertama yang menemukan jasad itu pun terkecoh.


“Bangun, Maria. Bangun!”


Tak mendengar jawaban, orang itu lantas mengangkatnya. Saat mengangkat jasad yang dingin bagai es itulah seketika ia sadar bahwa yang diangkatnya adalah sesosok mayat. Maka orang itu pun berlari ke arah kampung. Berteriak-teriak membangunkan seluruh orang. Orang-orang pun bangun dengan malas. Menggeliat-geliat di tempat tidur. Kemudian ketika mereka mendengar teriakan, “Mayat!” Mereka menendang selimut dan menghambur keluar. Segeralah mayat Maria dikerubungi orang sekampung. 


Saksi mata 1 

Kematian Maria adalah peristiwa yang membuat aktivitas di kempung nelayan terhenti. Mereka enggan untuk melaut. Bahkan satu minggu setelah kematian Maria, mereka masih membicarakannya. Mereka mulai mencurigai salah satu orang dikampung itu. Tapi ia sudah tak ada di kampung. Sebelum orang itu tertangkap mereka tak akan tenang. Sayangnya mereka tak tahu bagaimana caranya menemukan pelaku yang mereka yakini telah membunuh Maria. Orang yang mereka curigai itu adalah Sahid. Sebab hanya ia di kampung nelayan yang pergi bertepatan dengan kematian Maria. Karena ribut-ribut di kampung nelayan itu, Damhuri yang menjadi saksi terakhir atas keberadaan Sahid memutuskan untuk mendatangi kantor polisi.


“Namaku Damhuri. Aku tengkulak yang biasa membeli ikan dari  kampung nelayan,” kata Damhuri kepada polisi yang bertugas mencatat keterangannya. “Sahid mencegatku di pagi yang gelap itu. Ia mencegatku di jalan. Aku kira ia seorang begal. Hampir kutabrak orang itu. Namun, setelah kupastikan wajah orang yang mencegat itu Sahid, segera kuinjak pedal rem sehingga mobil berhenti.”


“Kutanyakan pada Sahid, mau kemana kau hendak pergi? ‘Aku mau ke kota. Tolonglah, biarkan aku ikut serta bersamamu,’ katanya. Aku katakana pada Sahid, ‘jika kau mau, duduklah di belakang bersama tong-tong ikan berbau amis itu’. Ia bersedia duduk di belakang di antara tong-tong ikan berbau amis.”


“Apa kau tidak curiga?” tanya polisi.


“Curiga? Tidak! Sahid bukan nelayan pertama yang numpang ke kota. Sudah menjadi kewajibanku untuk menolong. Resikonya mereka harus duduk di belakang bersama tong-tong ikan berbau amis.”


“Sesampainya di kota ia bilang kepadaku, ‘turun dekat terminal’, kata Sahid. Maka aku menurunkannya di dekat terminal. Ia memberiku uang 15 ribu, ‘buat beli rokok’, katanya. Aku menolaknya. Setelah Sahid turun, aku tak memperhatikan kemana perginya. Cuma sejauh itu informasi yang bisa kuberitahukan.” 


Saksi Mata 2 

“Malam sebelum kejadian itu Sahid datang ke kedai bersama Syarif. Ia memesan arak, sedangkan Syarif memesan wedang jahe.”


“Aku menyuruh Maria membuatkan wedang jahe untuk Syarif. Alasanku menyuruh Maria membuatkan wedang jahe karena aku curgia dan menduga bahwa mereka menjalin cinta. Aku mendengar kasak-kusuk diam-diam mereka sering bertemu. Malam itu aku ingin mengetes bagaimana perubahan mimik muka mereka. Dan benar, ada gelagat yang menunjukan mereka sedang jatuh cinta.”


“Malam itu Sahid mabuk berat. Ia menampar Syarif berkali-kali. Jika sedang mabuk, Sahid sering bertingkah kelewat batas. Tak kuasa aku untuk melerai mereka.”


“Apa Maria juga tahu peristiwa itu?” Tanya polisi.


“Tidak. Maria tidak tahu. Aku yakin dia sudah tidur.”


“Baik, lanjutkan,” kata polisi.


“Ketika muka Syarif  sudah babak belur, ia lari karena saking takutnya. Sedangkan Sahid masih di kedai.”


“Sahid adalah pelanggan terakhir  yang ada di kedai sebelum kututp. Sahid mengancamku ‘Bukankah kau tahu siapa anakmu itu?’ tanya Sahid kepadaku dengan kasar, ‘Jika kau tak menjauhkan mereka, aku akan menjauhkan dengan caraku sendiri.”

“Aku menjawab ancamannya dengan tegas, ‘Tidak Sahid. Aku tidak akan menjauhkan dua orang yang saling mencintai. Cinta yang tak pernah kurasakan seumur hidup.”


“Apa Sahid tidak memukulmu?” tanya polisi.


“Tidak, Sahid tidak memukulku. Aku juga heran. Biasanya jika permintaannya dibantah, ia akan memukul siapa saja yang membantah.”


“Malam itu, Sahid pergi dengan bersungut-sungut. Ia sering mengancamku. Namun, tak kusangka jika Sahid nekat melakukan… ah”, Magda tak kuasa melanjutkan. Tenggorokkannya terasa tersekat. Ia menangis tersedu-sedu di depan polisi yang mencatat keterangannya. 


Pengakuan 

Sahid yang baru pulang bertualang itu merasakan hawa di kampungnya ada yang berubah Menjadi kian sesak saja, pikirnya. Kedua tangannya sibuk menjinjing dua plastik besar yang penuh barang belanja. Ia  membeli oleh-oleh buat Syarif, Maria dan juga Magda. Ia sudah membulatkan tekad untuk membuat pengakuan kepada mereka.


Tapi, hawa kampung yang sesak itu makin sesak ketika ia melihat beberapa tetangga yang ditemuinya lari. Ia merasa tak punya salah kepada mereka. Justru ia merasa bersalah pada Syarif, karena pergi tanpa sepengetahuannya. Memang tak ada seorang pun yang tahu kepergiannya kecuali tengkulak yang mobilnya ia tumpangi. Sudah terhitung dua minggu sejak kepergiannya. Di kota, ia bekerja jadi kuli. Ia tak melaut karena laut sedang mengalami cuaca buruk. Dari pekerjaannya di kota itulah ia bisa membeli barang-barang hadiah itu.


Ia  berjalan gontai menuju kampung. Memikirkan orang yang ia temui di jalan masuk yang lari itu. Kenapa mereka lari? Apakah aku menjadi menakutkan? Tanyanya dalam hati.


Tak lama kemudian tiba-tiba dari arah depan, berkumpul orang-orang mengepung Sahid. Ia bingung, ia merasa  tak punya salah kepada mereka. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Sahid dengan suara yang keras. Bukannya menjawab pertanyaan Sahid, mereka malah menyeretnya. Bajunya hampir lepas karena ditarik-tarik. Dan hadiahnya dalam plastik besar itu jatuh. Dinjak-injak oleh orang-orang yang mengepungnya. “Berikanlah pengakuan kepada, Magda!” teriak orang-orang itu ketika sampai di rumah Magda.


“Apa yang harus aku akui?”


“Jangan pura-pura tidak tahu!” teriak orang yang paling garang di antara mereka.


Mendengar ribut-ribut, Magda segera keluar.

Sahid meminta penjelasan pada Magda, “apa yang harus kuakui? Mereka ini orang gila,” kata Sahid berharap Magda memberi pertolongan. “Apa yang harus kuakui?” tanya Sahid sekali lagi. Tapi Magda tak menjawab pertanyaan Sahid. Justru ia menatap Sahid dengan tatapan dendam. “Baiklah, aku akui. Maria memang anakku, lalu apa salahnya?” kata Sahid. Kini ia menatang orang-rang itu, “kalian ingin aku menikahi Magda? Baiklah aku akan menikahinya segera. Bahkan hari ini tanpa kalian paksa aku akan menikahinya.”


Bukannya membela Sahid, Magda malah masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian keluar lagi membawa palu. Tanpa berkata apa-apa Magda langsung menghantamkan palu itu ke kepala Sahid berkali-kali. Sampai darah mengucur dari pelipisnya.


Tiba-tiba Syarif berlari ke arah kerumunan itu. Lantas ia menyibak kerumunan orang-orang itu. Mendapati ayahnya dipukuli oleh Magda, ia meghambur dan menjadikan tubuhnya sebagai perisai, “ampuni, ayah! Tolonglah!” Syarif memamohon-mohon pada Magda. “Akulah yang membunuh anakmu. Bapak tak bersalah.”  Lalu Magda tersungkur dan tak sadarkan diri. Sedangkan Sahid mendengar itu menatap kosong pada Syarif.


*

Syarif tidak melawan ketika dua polisi meringkusnya dan membawanya ke kantor polisi. Di sana ia mengakui perbuatannya, “Setelah mendapat mimpi aneh, rasanya kepalaku jadi sakit. Lelaki bermata gagak itu memberi pesan kepadaku,” Syarif memandang penuh keyakinan pada polisi yang sedang mengintrogasinya, “Maria adalah adikku. Itulah yang membuat kepalaku sakit."


“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya polisi itu.


Syarif diam, ia tertunduk seoalah ingin menyembunyikan wajahnya di balik kursi. Kemudian ia menjawab singkat, “aku membunuhnya.”***