22 June 2018

Perempuan di Balik Jendela


Kisah ini tepatnya di sebuah kafe langgananku. Di mana aku sering memandang ke tepi jalan melalui jendela. Padahal sebelumnya aktivitasku di kafe hanya sebatas menyedu secangkir kopi sampai habis. Hingga suatu hari tanpa sengaja mataku menemukan seorang perempuan yang amat cantik. Berjalan melintas di depan kafe.

Sejak peristiwa itu intensitasku ke kafe makin sering. Mulanya hanya sekali dalam seminggu, tapi sejak kejadian itu, tiap hari aku meluangkan waktu pergi ke kafe. Sudah seperti ibadah saja, Memandangi jendela hingga aku hampir hafal detail bintik cat yang menempel di ambangnya.

Sayangnya, setelah berulang kali aku menemukan dia melintas di depan kafe ternyata keberanianku hanya sebatas memandangnya.

Belum ada keinginan untuk mengenalnya lebih jauh. Misalnya dengan keberanian pas-passan keluar ke jalan meminta kontak yang bisa dihubugi. Atau dengan cara-cara semisal yang bisa mendekatkan. Seandainya waktu itu ada yang mengamati gerak-gerikku, pastilah tingkahku terlihat sangat konyol.

Harapan yang paling besar setelah misi ini selesai yaitu bisa menjadi kekasihnya. Sepanjang pengamatan, secara fisik dia telah memenuhi kriteriaku yang amat rumit. Bermata sipit, alami, tinggi, kulit sawo matang, jawa, cerdas.

Dari tumpukan buku yang selalu di impitnya dugaanku dia perempuan cerdas. Semacam novel dan buku filsafat. Satu di antaranya aku sempat membaca judulnya: 1984; Geogre Orwell.

Lalu aku mulai berspekulasi tentang dirinya. Perempuan yang menyukai filsafat dan seni, punya kecenderungan romantis sekaligus seorang yang terutup. Oleh karena itu aku sedikit berhati-hati. Sebenarnya sudah ada puluhan rencana untuk mendekatinya. Salah satunya pura-pura menabraknya dari arah depan. Adegan selanjutnya pura-pura membantu memungut buku yang terjatuh. Tapi bukanya adegan seperti itu sering diperagakan di sinetron.

Tiap kali ia melewati kafe jantungku seperti di pompa darahku mengalir lebih deras. Kian hari perasaanku semakin menumpuk-numpuk. Menunggu Tuhan menakdirkan pertemuan alami dengannya. Sebenarnya aku cuma berharap agar kisah cintaku ini tidak seperti kisah cinta yang beredar di pasaran. Melainkan, sebuah perjumaan alami. Karena meskipun banyak menu yang disajikan, aku selalu setia memilih kopi tubruk darpada yang lain. Entah kenapa aku sangat tergila-gila dengan kealamian.

Oleh karena itu aku rajin datang ke kafe semata-mata mendekati pertemuan alami dengannya. Rencana konyol yang pernah aku susun sudah tidak berlaku lagi. Suatu hari aku menemukan dia tengah terguyur hujan deras. Pakaianya basah kuyup, jalanya cepat-cepat. Waktu itu aku sudah berdiri merencanakan sebuah skenario penolongan. Tapi aku pikir itu bukan pertemuan yang alami. Aku khawatir nantinya persis seperti adegan di novel dan film romantis. Akhirnya niat itu aku urungkan.

Esoknya aku tidak mendapati perempuan itu berjalan melintas di depan kafe. Dugaanku dia sedang terkena demam atau flu gara-gara kehujanan kemarin. Sebagai seorang yang mencintainya, aku jadi gelisah. Jangan-jangan dia sakit parah.

Berkali-kali, aku mengaduk cangkir kopi padahal gula sudah larut sejak tadi. Memandang tepi jalan melalui jendela. Memandang lagi, mengaduk, memandang lagi, mengaduk. Semacam perasaan gelisah dan perasaan yang lain, mungkin rindu. Kala itu aku membayangkan adegan pertemuan. Menjabat tangannya, “perkenalkan namaku Sidi, namamu siapa?” tanyaku.

“Namaku Laras. Sidi? Nama yang aneh.” Jawabnya tersenyum.

“Kalau di Melayu nama itu tidak aneh. Kata orangtuaku ‘Sidi’ diambil dari nama ‘Ajo Sidi’ dikutip dari cerpen ‘Robohnya Surau Kami’, pengarangnya A.A Navis.”

“Berarti kamu laki-laki dengan ucapan sembrono itu ya?” kini senyumnya lebih lebar.

“Terserah kamulah!” candaku membalas pertanyaanya, “Laras, ngomong-ngomong besok ada waktu luang. Aku ingin traktir kamu kopi?”

“Ya kebetulan ada waktu luang, di mana?”

“Kafe sebelah itu.” aku menunjuk kafe langgananku.

“Baiklah,” jawab Laras, “oh iya kita lanjut besok saja ya. Ini masih banyak kerjaan.” Laras pergi meninggalkan sebatang harapan beraroma manis.

Tanpa aku sadari ternyata aku sedang tersenyum-senyum sendiri. Membayangkan suatu peristiwa dengan perempuan itu. Harapan yang kian menumpuk tapi tak tercapai kadang butuh pelampiasan untuk meredakannya. Salah satunya dengan berkhayal. Kopi yang tadi mengepul asapnya sudah mereda. Tinggal riak hitam warna kopi yang sesekali memantulkan bayangan cahaya. Hari ini dia benar-benar tidak ada.


***

Hari berikutnya seperti biasa aku memesan secangkir kopi, memilih meja dekat jendela. Menyandarkan punggung di kursi, kemudian mendengarkan lantunan lagu yang disedikan kafe. Sesekali mengamati pengunjung lain. Lalu kembali melempar padangan ke jendela yang mengarah langsung ke jalan. Dalam penglihatanku jendela menjadi kanvas, lalu di kacanya tengah aku lukis seorang perempuan berjalan sangat anggun.

Di dalam bingkai yang berupa jendela itu, wajahnya amat manis, kali ini rembulan yang paling terangpun kalah cantik dengannya. Dia selalu menatap ke arah depan. Seandainya saja dia menatap ke arah kafe. Atau sekali saja dia menoleh, pastilah, mata kita akan saling menemukan dalam tatapan singkat. Pada tatapan singkat itu aku bisa saja menyisipkan kode rahasia. Kemarilah perempuan, bukannya di mataku kamu menemukan cinta? Tapi kemudian dia menghilang di balik jendela.

Di kafe ini aku menghabiskan puluhan cangkir kopi, membuat puluhan rencana pertemuan, dan puluhan puisi yang tidak pernah rampung. Setiap sampai bait terakhir wajah perempuan itu memenuhi kertasku. Dengan segala cara, dia menahan puisiku agar tidak pernah selesai. Dan menggagalkan setiap rencana pertemuan.***
 
2016



Pembacaan "Perempuan di Balik Jendela":