21 October 2018

Pengalaman Mencuri Buku


Di SD ku dulu ada gudang yang menyimpan buku-buku. Aku yakin buku-buku itu kiriman dari Dinas Pendidikan. Soalnya banyak sekali cap DISPENDIKBUD pada sampulnya.

Alih-alih bikin perpustakaan, pihak sekolah malah menggudangkan buku-buku itu. Gudangnya tepat di samping kelas 6. Di samping kelasku. Waktu itu aku sudah kelas 6.

Tiap pagi gudang itu dibuka oleh petugas kebersihan. Selain buat menyimpun buku-buku, gudang itu juga menyimpan alat-alat kebersihan.

Sesekali, saya menyelinap ke dalam gudang, dan melihat gambar sampulnya. Belum berani menyentuh. Cuma melihat saja. Gambar sampulnya banyak yang menarik. Berbeda dengan gambar sampul LKS yang selelau monoton: kalau nggak gambar pantai Prigi, biasanya pantai Pelang (obyek wisata Kabupaten Trenggalek, kayaknya kami disiapkan buat jadi konsumen pariwisata).

Seiring berjalannya waktu, intensitasku menyelinap ke gudang itu makin sering. Dan aku mulai berani menyentuh satu-dua buku. Tentu yang saya buka yang gambar sampulnya menarik. Saya berharap dapat menemukan komik di gudang itu, komi Naruto atau yang lain. Saya tinggal di desa. Jadi tak ada toko buku yang jual komik.

Kemudian, di luar jam sekolah,  kami main sepak bola di lapangan sekolah. Muncullah ide untuk menyusup lagi ke gudang sekolah. Entah siapa yang punya ide jahat ini, akhirnya kami menyusup ke gudang itu lewat jendela.

Di dalam gudang, saya sudah tidak tahan lagi untuk tidak mencuri satu-dua buku. Dan teman-teman saya juga tidak tahan untuk tidak mencuri satu-dua barang-barang yang mereka suka. Karena tak ada komik di gudang itu, akhirnya saya memutuskan mengambil buku Nabi Musa dan Nabi Nuh. Paling tidak di dalam buku itu ada gambar-gambarnya. Dan teman-teman yang lain mengambil satu-dua barang yang mereka suka.

Menyusup ke gudang membikin kami ketagihan. Beberapa kali kami menyusup ke gudang itu. Tapi tidak selalu untuk mencuri. Hingga suatu hari petugas kebersihan menyadari ulah kami. Dia memaku jendela yang sering kami gunakan untuk menyusup. Sehingga kami tidak bisa menyusup lagi.

Pengalaman Pertama Membaca Chairil Anwar

Sepanjang belajar di SMK jurusan TKR (Teknik Kendaraan Ringan) tak ada materi yang menyinggung Chairil Anwar. Oleh guru bahasa, kami disuruh untuk buat cerita pendek. Itu materi bahasa Indonesia yang masih aku ingat. Aku bikin cerita pendek asal-asalan. Tapi ada semacam kepuasan batiniah ketika menyerahkan cerita pendek asal-asalan itu kepada guru kami. Aku membayangkan karya bakal  dibaca.

Waktu itu, aku tak kenal Chairil Anwar. Sastra bagiku adalah pantun. Atau puisi anak-anak. Tentang sawah, pelangi, guru, dan semacamnya. Materi tentang pantun kuterima saat SMP.

Selebihnya saat remaja, puisi yang kutahu adalah puisi cinta. Puisi yang kubaca dari buku yang kupinjam dari tetangga. Ia bekerja di kota. Sebabai baby sister bayi. Ketika pulang ia membawa buku itu. Ketika berangkat lagi kerja, buku itu ditinggal di rumah. Maka, saya meminjamnya. Seorang gadis desa. Umurnya jauh di atasku. Aku memanggilnya Mbak. Kami masih saudara jauh.

Buku puisi itu bukan murni buku puisi. Melainkan semacam buku kumpulan surat. Buku itu jelas bukan buku sastra. Semacam buku bacaan buat ABG yang lagi kasmaran. Surat-surat dalam buku itu, memuat surat dua pasang kekasih. Aku membacanya tidak tuntas. Membosankan. Di SMP, aku tidak terlalu suka membaca buku. Tak ada budaya literasi di sekolah maupun di rumah. Sehingga tak ada yang mendorongku atau memotivasiku untuk membaca,

Kegiatan literasi yang kujalani merupakan kegiatan yang alamiah. Tanpa dipaksa oleh siapa-siapa. Tanpa hukuman-hukuman layaknya anak kota yang tak patuh pada orangtua. Anak gunung sepertiku lebih akrab dengan hutan, pohon, ladang jagung, sungai, sawah, burung, kambing, sapi. Ketimbang buku. Buku lebih identik dengan orang kota. Orang desa tak sempat membaca buku. Bekerja sudah cukup melelahkan

Kesadaran literasi itu bermula ketika saya bosan di kelas melulu. Karena sekolah swasta siswa lebih longgar buat bolos.

Dan sekolah kami adalah sekolah swasta yang bentuknya Yayasan. Yayasan tersebut menampung antara lain, SMA, SMEA, dan SMK. Suatu hari  ketika jam kosong, saya main-main ke kelas SMA (masih satu yayasan). SMA juga sedang kosong. Di ruang kelas yang kumasuki, di papan tulisnya yang masih menggunakan kapur tertulis "Sajak Putih". Sajak itu memenuhi seluruh papan tulis. Ukuran hurufnya besar dan yang menuliskannya berbakat menulis indah. Saya membacanya dan, jalang! Begitu kira-kira makian saya jika saja saya sudah tahu bahwa Chairil Anwar itu binatang jalang.

Sejak itu aku tertarik dengan buku. Menyempatkan bertanya soal Perpustakaan Daerah pada teman-teman yang domisilnya asli kota. Gimana cara daftar jadi anggota? Apa saja syaratnya ? Buku apa saja yang ada di PERPUSDA? Maklum anak desa asli. Jadi serba tidak tahu soal PERPUSDA.

Soalnya kegiatan literasi adalah kegiatan yang asing bagi orang desa. Soalnya. bapak-ibu kami,tak terbiasa dengan buku. Kebanyakan orang desa lulus SD. Sedikit orang yang lulus SMA. Dan orang-orang yang lulus SMA ini pun tak punya kesadaran literasi. Hasilnya, anak-anak seperti kami yang tumbuh dilingkungai tak sadar literasi, jadi ikut pula tak sadar literasi. Lingkungan membentuk sifat-sifat kami.

Tapi akhirnya, ketika saya sudah punya KTP, saya memberanikan diri untuk mendaftarkan diri ke PERPUSDA. Waktu itu, kira-kira umur saya 17 tahun. Sekarang sudah 24. Jadi, kegiatan litarsi saya kurang lebih sudah berjalan 7 tahun. Masih ecek-ecek. Beberapa orang yang keluarganya punya dasar literasi, memulai kegiatan literasinya sejak umur 7 atau 8 tahun. Jadi, kalau disamakan dengan umurku yang 24 tahun, aku kalah jauh. Mereka sudah biasa dengan kegiatan literasi selama 17 tahun. Sedangkan aku masih 7 tahun, selisih 10 tahun.

Another Trip to the Moon

Another Trip to The Moon karya ‎Ismail Basbeth merupakan film tanpa dialog. Memasukan voice mantra, dipadukan dengan musik latar tradisional, menghasilkan suasana yang magis.

Menceritakan tokoh perempuan (Tara Basro) yang dipaksa menikah oleh ibunya, lalu melarikan diri ke hutan dan bertemu serta hidup dengan tokoh perempuan lain. Hutan menjadi tempat melarikan diri dan penemuan jati diri ketika sang tokoh utama keluar dari dominasi dan struktur kekuasaan yang dipaksakan kepadanya. Tokoh utama melakukan perlawanan kepada kekuatan matriark.

Sebelum nonton Another Trip to the Moon, saya pernah nonton beberapa film Alejandro Jodorowski.  Film yang saya tonton itu berjudul, El Topo, Holy Mountain, dan Santa Sangre. Ketiga film tersebut sarat dengan gambar-gambar surreal, pikiran-pikiran magis sekaligus filosofis dan nyaris melampaui batas-batas keumuman. Sejumlah kritikus menganggap film-film Jodorowsky anti-kapitalis, anti-imperialis, anti-agama, dan anti-keluarga.

Terlepas dari keanehan yang berlebihan dari film Alejandro, agaknya Ismail punya kecendurangan yang mirip dengan gaya Alejandro. Yakni memasukan gambar-gambar surreal. Tikus besar yang menghampiri tokoh utama, kelinci mainan dalam hutan rimba, atau tiba-tiba adegan dari hutan berganti adegan kota yang dipenuhi perangkat teknologi modern. Hal ini bukan suatu hal yang baru dalam film. Film Alejandro mempunyai banyak adegan yang serupa.

Di Santa Sagre, ada adegan yang memperihatkan bendera Amerika. Bendera Amerika menyimbolkan bapak yang penuh kuasa. Sante Sangre punya muatan politis yang berlapis-lapis. Sesudah tokoh protagonis menghancurkan bapak atau kehilangan bapak, ia berada di bawah kekuasan ibu (matriarki). Selanjutnya adalah perjuangan protagonist agar terbebas dari kukungan matriarki. Ia berusaha keras agar bisa keluar dari kegilaannya. Keinginan-keingin Ibu di dalam dirinya yang harus terus dipenuhi.

Another Trip to The Moon, kurang lebih mempunyai pesan yang sama. Yakni pertentangan tokoh utama demi bisa keluar dari bayang-bayang ibunya. Di akhir cerita, tokoh utama berhasil lepas dari bayang-bayang itu. Dengan meninggalkan suami dan anaknya menuju bulan bersama kekasih lesbiannya. Akibatnya, anak yang dia lahirkan harus hidup tanpa ibu.

24 August 2018

Pembunuhan di Pagi Buta

Truk yang mereka tumpangi menempuh jarak yang amat jauh, melewati bukit-bukit terjal, dan jalan yang berkelok-kelok Mereka tiba di suatu tempat yang asing. Bagai seekor burung yang terdampar di jazirah asing, ibu muda yang keluar dari truk itu lekas mencari tempat bersarang bagi anaknya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain,  begitulah sampai bertemu dengan orang tua berjanggut lebat.

“Apakah gunanya manusia bersusah payah?” Tanya orangtua berjanggut lebat ketika mendapati seorang ibu yang kuyup dan gadis kecil yang kacau. Mereka telah berkeliling kampung. Tapi tak seorang pun di kampung yang mereka temui bersedia menolong.


“Matahari terbit dan tenggelam, lalu terbit kembali,” orangtua berjanggut lebat itu melanjutkan, “seluruh sungai di muka bumi mengalir ke laut, tetapi laut tak juga menjadi penuh. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”


Si orangtua berjanggut lebat memakai baju hitam, kontras dengan rambut dan jenggotnya yang putih. Sedangkan ibu muda beserta anaknya itu memakai baju  kumal seperti tak pernah dicuci selama satu bulan. Si orangtua berjanggut lebat menyentuh pundak ibu muda itu,  “ mari mampir ke rumahku,” katanya.


Mereka melewati kampung nelayan yang berbau amis. Pintu-pintu rumah sepanjang kampung tertutup. Beberapa orang sedang asyik berbincang-bincang. Tapi sebagian besar penghuni kampung itu berada di pantai atau di tengah laut. Di kampung itu anak-anak dan perempuan ikut melaut. Sehingga jika mereka sedang melaut kampung menjadi sepi. Mereka hidup dari berburu ikan. Hanya orangtua berjanggut lebat itu yang tak melaut. Rumah orangtua berjanggut lebat itu di pojok kampung nelayan. Hidup sendiri seperti petapa.


Suatu hari ibu muda dan anaknya yang masih kecil itu akan mengenang si orangtu berjanggut lebat sebagai si tua bijaksana. Sebab ia tak hanya memberinya makan dan minum, tapi juga tempat untuk menetap. Berkat orangtua berjanggut lebat itu, ia tahu caranya hidup, dan membesarkan anak, dan membangun rumah sendiri di kampung nelayan. 


Begitulah, awal mula kisah mereka menetap di kampung nelayan. Tak lebih dari keberuntungan belaka.


“Ibu muda itu adalah nenekku,” kata Maria sambil memainkan pasir. “Jika orangtua bijaksana tak menolong mereka, barangkali nasibku akan berbeda. Mungkin ibu akan mati kelaparan. Dan aku tak akan pernah dilahirkan." 


“Kemanakah ayahmu, Maria?” tanya Syarif.


Maria menggeleng, “aku tidak tahu. Tentu ayahku salah satu laki-laki di kampung ini.”


“Kisah keluargamu memang tidak asing di kampung ini, Maria,” kata Syarif memandang Maria. “Dari semua itu yang aku heran, untuk apa nenekmu membawa ibumu ke kampung ini?”


“Aku tidak tahu, Syarif. Aku tidak pernah bertanya soal itu,” jawab Maria. “Dan aku tak akan pernah menanyakannya.”


“Maria?”


Maria menoleh pada Syarif, “ada apa, Syarif?”


“Semalam aku bermimpi. Sungguh mimpi yang aneh,” kata Syarif ragu-ragu.


“Ceritakanlah, Syarif.”


“Seorang lelaki berpakaian hitam berjalan di atas ombak. Sedang burung gagak berputar-putar di sekelilingnya.  Ada sesuatu yang akrab, tetapi sangat mengerikan di wajahnya. Saat jarak kami sangat dekat, kulihat matanya hitam memancarkan kegelapan. Dengan penuh amarah lelaki berpakaian hitam itu memenggal kepalaku. Aku terbangun dan keringat membasahi tubuhku.”


“Sungguh mimpi yang aneh,” kata Maria sambil memandang laut yang mengantarkan ombak-ombak besar.


“Syarif! Syarif!”


Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh suara teriakan. Mereka melihat Sahid  berdiri di kejauhan di antara deretan pohon nyiur. Maka dengan cepat Syarif menjawab, “iya, Ayah!”


“Waktunya menjaring ikan, Syarif!”


“Baiklah.”


Syarif menghambur menuju ayahnya. Ia semakin menjauh. Jejaknya membentuk garis lurus di atas pasir. Segera Maria disergap kesepian. Ia memalingkan wajahnya ke laut begitu Syarif menghilang dikejauhan. Di sana ia melihat ombak-ombak besar yang menyapu pasir pantai. 


Peristiwa kecil di kedai 

Para nelayan itu jika sedang tidak melaut banyak menghabiskan waktunya di kedai. Memesan  teh tubruk, wedang jahe, kopi hitam, hemaviton, ekstra joss, bir bintang, topi miring, arak…..


“Maria!”


“Iya, Bu.”


“Kau boleh istarahat.”


Baru saja hendak berbalik untuk istirahat, Maria mendengar suara Sahid terbatuk-batuk. Pura-pura batuk adalah kebiasaan khasnya. Sebelum duduk, ia akan menyapa teman-temannya yang ada di kedai. Tentu saja kebiasaannya itu sudah dihafal Maria di luar kepala. Namun tak biasa Syarif ikut serta bersama ayahnya.


“Lah, masih di sini. Kan sudah kubilang, istirahat sana!” tegur ibu. “Tapi… jika kau mau, buatkan wedang jahe untuk Syarif.”


“Baik, Bu.”


Dengan canggung, ia pun melangkah ke dapur untuk membuat wedang jahe. Tentu ibu sudah tahu hubunganku dengan Syarif, pikirnya. Di dapur, Maria memasak air hingga mendidih. Memasukan jahe ke dalam cangkir besar, dan menambahkan gula. Tidak butuh waktu lama untuk membuat wedang jahe.


“Terima kasih, gadis manis,” kata Sahid sembari menyeringai sehingga wajahnya yang terlalu sering terbakar matahari menjadi berkerut-kerut. Maria menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Ia terlihat gugup. Dan cepat berbalik menghindari Sahid. Sedangkan Syarif merunduk tak berani menatap Maria. Seolah ia ingin menyembunyikan wajahnya di balik meja. Syarif cepat berubah dari satu keadaan, ke keadaan yang lain.  Kini ia mirip bocah kecil kena marah ayahnya. Melihat ekspresi anak lelakinya, mendadak Sahid berhenti menyeringai. Sembari memandangi anaknya, jarinya diketuk-ketukkan di atas permukaan meja.


Di meja lain, para nelayan berceloteh seenak mereka. Sesekali terdengar pisuhan, ejekkan, ledakan marah, dan tertawa yang panjang.


Bahkan ketika Maria sudah di kamar, suara mereka menghasilkan bunyi seperti dengung lebah. Membikin Maria sulit terlelap. Ia berguling ke kiri dan ke kanan. Saat-saat seperti itu, ia akan merindukan suasana lain. Mungkin saja jika ia melanjutkan sekolah suasananya akan berbeda.


Tak ada dengung lebah. Melainkan suasana sunyi di asrama. Hari-hari dipenuhi dengan belajar dan belajar. Berdoa dan berdoa.


Ia ingat bagaimana rencana melanjutkan sekolah itu gagal. Saat itu ketika Maria sedang bimbang, Syarif dengan suaranya yang berat berhasil menahannya. “Kau tega meninggalkanku, Maria?” Maria diam. “Kau tidak boleh pergi, Maria,” bujuk Syarif. “Kau tidak boleh pergi, manisku, yang mempunyai mata seperti bulan sabit.” Maria diam. “Aku mencintaimu, Maria.” Maria diam. Syarif putus asa. Beberapa detik mereka saling diam. Hanya debur ombak yang tak henti-henti menengahi mereka. Lalu seperti tahu apa yang ingin didengar oleh Syarif, Maria segera berkata, “aku tetap di sini, Syarif.”


Kemudian Syarif akan  merayuannya lagi dengan membabi buta. Dengan rayuannya yang manis. Sehingga membikin pipi Maria merona merah. Begitulah, akhirnya mereka memilih untuk tidak melanjutkan sekolah.


Maria menepis kenangannya itu. Lalu ia mencari-cari suara Syarif di luar sana: di meja di ruang kedai yang tak begitu luas. Tapi yang terdengar tinggal sayup-sayup suara ibu berdebat dengan pelanggan terakhir yang tentu saja sedang mabuk. Kemudian terdengar derit suara pintu kedai ditutup. Dan suara klentang-klenting gelas dan botol yang dibereskan dari meja. 


Boneka yang hilang di pagi hari 

Pagi hari sebelum orang-orang bangun dari tidurnya, sesosok jasad tergeletak di pantai. Tubuhnya terhempas-hempas oleh ombak. Tiap ombak menghempas tubuhnya, tangannya bergerak-gerak seperti ingin menggapai sesuatu. Seolah jasad itu masih hidup. Tapi tubuh itu tinggal sesosok jasad yang sudah  mati.


Saat cahaya matahari mulai berkilauan di ufuk timur, jasad itu terlihat semakin jelas. Jasad yang tergeletak itu adalah Maria. Jasad yang masih memancarkan cahaya kecantikan. Orang tak akan percaya jika yang tergeletak di atas pasir itu adalah sesosok mayat. Meski kulitnya mulai membiru, tapi tetap saja ia seperti gadis belia yang sedang tidur. Hanya tertidur. Maka orang pertama yang menemukan jasad itu pun terkecoh.


“Bangun, Maria. Bangun!”


Tak mendengar jawaban, orang itu lantas mengangkatnya. Saat mengangkat jasad yang dingin bagai es itulah seketika ia sadar bahwa yang diangkatnya adalah sesosok mayat. Maka orang itu pun berlari ke arah kampung. Berteriak-teriak membangunkan seluruh orang. Orang-orang pun bangun dengan malas. Menggeliat-geliat di tempat tidur. Kemudian ketika mereka mendengar teriakan, “Mayat!” Mereka menendang selimut dan menghambur keluar. Segeralah mayat Maria dikerubungi orang sekampung. 


Saksi mata 1 

Kematian Maria adalah peristiwa yang membuat aktivitas di kempung nelayan terhenti. Mereka enggan untuk melaut. Bahkan satu minggu setelah kematian Maria, mereka masih membicarakannya. Mereka mulai mencurigai salah satu orang dikampung itu. Tapi ia sudah tak ada di kampung. Sebelum orang itu tertangkap mereka tak akan tenang. Sayangnya mereka tak tahu bagaimana caranya menemukan pelaku yang mereka yakini telah membunuh Maria. Orang yang mereka curigai itu adalah Sahid. Sebab hanya ia di kampung nelayan yang pergi bertepatan dengan kematian Maria. Karena ribut-ribut di kampung nelayan itu, Damhuri yang menjadi saksi terakhir atas keberadaan Sahid memutuskan untuk mendatangi kantor polisi.


“Namaku Damhuri. Aku tengkulak yang biasa membeli ikan dari  kampung nelayan,” kata Damhuri kepada polisi yang bertugas mencatat keterangannya. “Sahid mencegatku di pagi yang gelap itu. Ia mencegatku di jalan. Aku kira ia seorang begal. Hampir kutabrak orang itu. Namun, setelah kupastikan wajah orang yang mencegat itu Sahid, segera kuinjak pedal rem sehingga mobil berhenti.”


“Kutanyakan pada Sahid, mau kemana kau hendak pergi? ‘Aku mau ke kota. Tolonglah, biarkan aku ikut serta bersamamu,’ katanya. Aku katakana pada Sahid, ‘jika kau mau, duduklah di belakang bersama tong-tong ikan berbau amis itu’. Ia bersedia duduk di belakang di antara tong-tong ikan berbau amis.”


“Apa kau tidak curiga?” tanya polisi.


“Curiga? Tidak! Sahid bukan nelayan pertama yang numpang ke kota. Sudah menjadi kewajibanku untuk menolong. Resikonya mereka harus duduk di belakang bersama tong-tong ikan berbau amis.”


“Sesampainya di kota ia bilang kepadaku, ‘turun dekat terminal’, kata Sahid. Maka aku menurunkannya di dekat terminal. Ia memberiku uang 15 ribu, ‘buat beli rokok’, katanya. Aku menolaknya. Setelah Sahid turun, aku tak memperhatikan kemana perginya. Cuma sejauh itu informasi yang bisa kuberitahukan.” 


Saksi Mata 2 

“Malam sebelum kejadian itu Sahid datang ke kedai bersama Syarif. Ia memesan arak, sedangkan Syarif memesan wedang jahe.”


“Aku menyuruh Maria membuatkan wedang jahe untuk Syarif. Alasanku menyuruh Maria membuatkan wedang jahe karena aku curgia dan menduga bahwa mereka menjalin cinta. Aku mendengar kasak-kusuk diam-diam mereka sering bertemu. Malam itu aku ingin mengetes bagaimana perubahan mimik muka mereka. Dan benar, ada gelagat yang menunjukan mereka sedang jatuh cinta.”


“Malam itu Sahid mabuk berat. Ia menampar Syarif berkali-kali. Jika sedang mabuk, Sahid sering bertingkah kelewat batas. Tak kuasa aku untuk melerai mereka.”


“Apa Maria juga tahu peristiwa itu?” Tanya polisi.


“Tidak. Maria tidak tahu. Aku yakin dia sudah tidur.”


“Baik, lanjutkan,” kata polisi.


“Ketika muka Syarif  sudah babak belur, ia lari karena saking takutnya. Sedangkan Sahid masih di kedai.”


“Sahid adalah pelanggan terakhir  yang ada di kedai sebelum kututp. Sahid mengancamku ‘Bukankah kau tahu siapa anakmu itu?’ tanya Sahid kepadaku dengan kasar, ‘Jika kau tak menjauhkan mereka, aku akan menjauhkan dengan caraku sendiri.”

“Aku menjawab ancamannya dengan tegas, ‘Tidak Sahid. Aku tidak akan menjauhkan dua orang yang saling mencintai. Cinta yang tak pernah kurasakan seumur hidup.”


“Apa Sahid tidak memukulmu?” tanya polisi.


“Tidak, Sahid tidak memukulku. Aku juga heran. Biasanya jika permintaannya dibantah, ia akan memukul siapa saja yang membantah.”


“Malam itu, Sahid pergi dengan bersungut-sungut. Ia sering mengancamku. Namun, tak kusangka jika Sahid nekat melakukan… ah”, Magda tak kuasa melanjutkan. Tenggorokkannya terasa tersekat. Ia menangis tersedu-sedu di depan polisi yang mencatat keterangannya. 


Pengakuan 

Sahid yang baru pulang bertualang itu merasakan hawa di kampungnya ada yang berubah Menjadi kian sesak saja, pikirnya. Kedua tangannya sibuk menjinjing dua plastik besar yang penuh barang belanja. Ia  membeli oleh-oleh buat Syarif, Maria dan juga Magda. Ia sudah membulatkan tekad untuk membuat pengakuan kepada mereka.


Tapi, hawa kampung yang sesak itu makin sesak ketika ia melihat beberapa tetangga yang ditemuinya lari. Ia merasa tak punya salah kepada mereka. Justru ia merasa bersalah pada Syarif, karena pergi tanpa sepengetahuannya. Memang tak ada seorang pun yang tahu kepergiannya kecuali tengkulak yang mobilnya ia tumpangi. Sudah terhitung dua minggu sejak kepergiannya. Di kota, ia bekerja jadi kuli. Ia tak melaut karena laut sedang mengalami cuaca buruk. Dari pekerjaannya di kota itulah ia bisa membeli barang-barang hadiah itu.


Ia  berjalan gontai menuju kampung. Memikirkan orang yang ia temui di jalan masuk yang lari itu. Kenapa mereka lari? Apakah aku menjadi menakutkan? Tanyanya dalam hati.


Tak lama kemudian tiba-tiba dari arah depan, berkumpul orang-orang mengepung Sahid. Ia bingung, ia merasa  tak punya salah kepada mereka. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Sahid dengan suara yang keras. Bukannya menjawab pertanyaan Sahid, mereka malah menyeretnya. Bajunya hampir lepas karena ditarik-tarik. Dan hadiahnya dalam plastik besar itu jatuh. Dinjak-injak oleh orang-orang yang mengepungnya. “Berikanlah pengakuan kepada, Magda!” teriak orang-orang itu ketika sampai di rumah Magda.


“Apa yang harus aku akui?”


“Jangan pura-pura tidak tahu!” teriak orang yang paling garang di antara mereka.


Mendengar ribut-ribut, Magda segera keluar.

Sahid meminta penjelasan pada Magda, “apa yang harus kuakui? Mereka ini orang gila,” kata Sahid berharap Magda memberi pertolongan. “Apa yang harus kuakui?” tanya Sahid sekali lagi. Tapi Magda tak menjawab pertanyaan Sahid. Justru ia menatap Sahid dengan tatapan dendam. “Baiklah, aku akui. Maria memang anakku, lalu apa salahnya?” kata Sahid. Kini ia menatang orang-rang itu, “kalian ingin aku menikahi Magda? Baiklah aku akan menikahinya segera. Bahkan hari ini tanpa kalian paksa aku akan menikahinya.”


Bukannya membela Sahid, Magda malah masuk ke dalam rumah. Sebentar kemudian keluar lagi membawa palu. Tanpa berkata apa-apa Magda langsung menghantamkan palu itu ke kepala Sahid berkali-kali. Sampai darah mengucur dari pelipisnya.


Tiba-tiba Syarif berlari ke arah kerumunan itu. Lantas ia menyibak kerumunan orang-orang itu. Mendapati ayahnya dipukuli oleh Magda, ia meghambur dan menjadikan tubuhnya sebagai perisai, “ampuni, ayah! Tolonglah!” Syarif memamohon-mohon pada Magda. “Akulah yang membunuh anakmu. Bapak tak bersalah.”  Lalu Magda tersungkur dan tak sadarkan diri. Sedangkan Sahid mendengar itu menatap kosong pada Syarif.


*

Syarif tidak melawan ketika dua polisi meringkusnya dan membawanya ke kantor polisi. Di sana ia mengakui perbuatannya, “Setelah mendapat mimpi aneh, rasanya kepalaku jadi sakit. Lelaki bermata gagak itu memberi pesan kepadaku,” Syarif memandang penuh keyakinan pada polisi yang sedang mengintrogasinya, “Maria adalah adikku. Itulah yang membuat kepalaku sakit."


“Lalu apa yang kamu lakukan?” tanya polisi itu.


Syarif diam, ia tertunduk seoalah ingin menyembunyikan wajahnya di balik kursi. Kemudian ia menjawab singkat, “aku membunuhnya.”***