4 January 2020

Kepada L (2)

Ilustrasi: Nuhan Kafabih
Saat kutulis ini, mungkin kau sedang berada di Padang Tikar. Mungkin kau bermain ombak bersama   anak-anak. Atau sedang di kelas dan menemani mereka mengeja atau menulis kata. Kau menyerap keceriaan mereka, sementara mereka menyerap pengetahuan.

Atau mungkin kau menulis puisi di bawah pohon ketapang sambil melihat matahari terbenam. Sementara angin tipis menerpa lembut kerudungmu. Aku belum pernah ke Kalimatan. Namun kadang-kadang di ambang sadar, aku mencium bau laut. Kupikir itu berasal dari pantai yang sama. Pantai yang sering kau kunjungi bersama anak-anak. Bagaimana bau itu bisa sampai di kamar tidurku, itu bukan hal yang penting.

Kakekmu pernah bercerita ada yang dimanakan jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil, itulah yang di dalam. Tubuh material kita sangat terbatas sehingga mudah terbentur dinding di sana-sini. Tapi yang di dalam, kita tak pernah bisa mengontrol.

Aku jadi ingat, terakhir membaca buku adalah buku terbitan lama yang kau berikan kepadaku: syair panjang Nizami, Laela Majnun. Katamu buku itu milik almarhum kakekmu, ia yang suka menulis di tengah malam ditemani cahaya lilin. Ia yang berdansa waltz bersama nenekmu. Ia yang  mengingatkanmu membaca Qurqan di keheningan malam sesaat sebelum kau tidur.

Lalu buku itu kubaca hari demi hari tak ingin cepat kuselesaikan. Kisah dari masa lalu yang jauh tentang Qais dengan kegilaannya, dan Laela dengan kematiannya yang tragis. Mereka seolah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paling rumit menjalani hidup.

Begitu pula dengan film kesukaanmu, Titanic. Kisah antara Jack dan Rose. Jack pemuda sinting yang menang judi dan mendapat tiket kelas tiga untuk berlayar dari Southampton menuju New York. Singkat cerita di kapal itu Jack bertemu dengan Rose dan membebaskannya dari Duke yang angkuh.

Sekejap saja cinta tumbuh di hati mereka. Sayagnya kebahagiaan di antara mereka cuma seumur perjalanan Titanic yang tak pernah sampai tujuan karena terjebak badai salju yang bikin Jack mati. Sementara Rose yang selamat dari badai salju melanjutkan derita cinta.

“Jika cinta itu ada, maka seperti itulah bentuknya,” katamu sesaat setelah bercerita tentang dua kisah yang kau sukai itu. Tapi, aku tak pernah tahu, yang mana yang kau maksud “seperti itu bentuknya” untuk menggambarkan bahwa cinta memang harus tampak demikian. Syair panjang Laela Majnun? Atau kisah Jack dan Rose?

Yang kutahu kedua kisah itu tentang kehilangan. Apa kita harus kehilangan untuk tahu bentuk cinta? Tentu tidak, kita tak perlu kehilangan untuk merasakan cinta. Bagiku cinta bukan soal kepemilikan. Sebab kita tak pernah memiliki apa-apa. Mereka yang tak memiliki apa-apa tak akan kehilangan apa-apa.

Kecuali hidup, cuma itulah yang kita punya, dan itu yang harus kita rawat. Mencintai hidup bagaikan Nietzche dengan Amor fati-nya. Jika hidup itu laut, maka kita pelaut di tengah lautan lepas, kita hanya berlayar dan terus berlayat, tak ada pelabuhan untuk berlabuh. Jika hidup itu bagaikan burung, maka kita burung yang tak punya kaki, kita hanya terbang dan terbang, tak ada tempat untuk hinggap. Seperti petikan puisi Chairil Anwar, “Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati, terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat.”

Atau mencintai hidup seperti petikan puisi Alfred Tennyeson, “brief is life, but love is long”. Tapi cinta itu apa? Anggap saja cinta adalah ombak yang tak putus-putus. Kita tak pernah bisa mengendalikan ombak, karena ombak punya pikirannya sendiri.

Jadi apa kabar kau yang di Padang Tikar? Apa kau juga ingat tentang kisah Sjahrir dari buku yang kita pinjam di perpustakaan kampus itu, bahwa dahulu Sjahrir dibuang di Banda Naera. Lalu ia mengajar anak-anak. Mengajak mereka bermain di pantai. Mengajak mereka untuk mengejar ombak. Dan untuk sesaat ia bisa melupakan Indonesia. Ia menyerap keceriaan mereka, sementara mereka menyerap pengetahuan. Seperti yang ia tulis dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936, “Mereka… adalah teman terbaik yang saya miliki.”

Ilustrasi oleh Nuhan Kafabih lahir di Trenggalek 31 Mei 1997. Kini dia bermukim di belantara Malang. Untuk  melihat karya-karyanya yang lain bisa kunjungi akun instragram @hannuhan.