27 December 2020

Resolusi Akhir Tahun: Mendadak Ingat Soe Hok Gie

Alih-alih mengevaluasi apa saja yang belum tercapai dan apa saja yang tercapai di tahun 2020 ini, dan menyiapkan rencana selanjutnya di tahun 2021 selayaknya sebuah resolusi akhir tahun yang benar, saya malah teringat kematian Soe Hok Gie di bulan Desember tahun 1969.

Pemuda Jakarta itu mati muda, meninggal di puncak Gunung Semeru yang dingin dan sepi dari hiruk-pikuk duniawi seperti di Jakarta. Persis seperti keinginannya seperti disampaikan kepada temannya "Orang-orang seperti kita, tidak pantas mati di tempat tidur," kata Gie.

Gie mati ketika berusia 27 tahun seperti Jim Morrison yang juga mati di usia 27 tahun. Usia kematian mereka sama, sikap mereka pada dunia juga sama, Gie maupun Morrison. sama-sama pemuda pemberang yang marah dan memaki dunia.

Kemarahan Morrison tampak seperti dalam lirik lagu People Are Strange :

People are strange when you're a stranger

Faces look ugly when you're alone

Women seem wicked when you're unwanted

Streets are uneven when you're down  

Sementara kemarahan Gie tergores dalam tulisan-tulisannya baik dalam catatan harian maupun tulisan yang dipublikasikan. Gie tak segan menyebut nama-nama politikus Indonesia era tahun 60-an sebagai politikus bajingan.

“Aku kira kita juga di Indonesia sudah sampai saatnya untuk berkata ‘tidak’ kepada Soekarno. Memang Soekarno bukanlah Hitler bahkan dia adalah person yang begitu tragis dan harus dikasihani. Tetapi orang-orang di sekelilingnya baik militer maupun sipil adalah bajingan-bajingan yang tidak lebih berharga dari anjing kudis...” 

Gie juga menyebut Soekarno sebagai tukang kawin, atau Menteri Sobandrio sebagai politikus bajiangan.

Tetapi ketika kekuasaan Soekarno sudah jatuh dan berganti digenggaman tangan Soeharto, tak membuat Gie puas dengan pemerintahannya.

Bahkan dengan gamblang, Gie menulis Soeharto sama saja dengan Soekarno yang gila kuasa ketika kereta api yang ditumpanginya usai pulang mendaki dari Gunung Slamet dipaksa berhenti gara-gara rombongan Soeharto sedang turun ke bawah (turba). 

Marah pada dunia itu wajar-wajar saja. Tetapi bercita-cita mati muda itu soal lain. Tentu saja, saya tak seberani Gie mengutip puisi filsuf Yunani yang seolah-olah meramalkan kematiannya itu:

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan

Yang kedua dilahirkan tapi mati muda

Dan yang tersial adalah umur tua 

Gie mepunyai vitalitas dalam menjalani kehidupan ini, penuh ledakkan, mesti tak se-bohemian Chairil Anwar yang juga mengalami nasib serupa dengan Gie, bahkan Chairil mati diusia yang lebih muda ketika 26 tahun.

Berbeda dengan Chairil yang urakan, Gie cenderung teratur menjalani hidupnya. Dia juga sempat menjalani pekerjaan teratur seperti saat dia menjadi asisten dosen di UI.

Tetapi, tetap saja hidupnya dipenuhi vitalitas, dipenuhi dengan ledakan: melawan apa saja dan memaki dunia seenaknya

Kehidupan yang saya cita-citakan adalah kehidupan yang wajar-wajar saja. Maka wajar jika saya merasa was-was ketika usai saya mendekati usai kematian Gie di tahun 2021.

Yang melintang dipikiran saya adalah soal apakah saya bisa melewati usia keramat ini, dan jika pun bisa melewatinya bagaimana kehidupan yang wajar itu?

Sementara yang saya ketahui dari diri saya, dari tahun ke tahun, hanya usia biologis saja yang menua, sementara umur mental saya masihlah kanak-kanak.*

20 December 2020

3 Buku Jurnalisme yang Bikin Bergetar Usai Membacanya

Saya mengenal jurnalisme sejak bergabung dengan LPM Al Millah. Dari sana, saya bertemu dengan orang-orang yang satu minat sehingga saya makin tertarik di bidang jurnalistik.

Meskipun sebetulnya daripada menghasilkan karya jurnalistik, selama di LPM Al Millah, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku.

Kegiatan itu membuat saya jadi sangat jarang liputan di lapangan. Sangat jarang melatih keterampilan menggali data di lapangan; dan mengolah hasil liputan itu menjadi karya jurnalistik.

Maka wajar jika senior saya menempatkan saya di bagian Litbang LPM Al Millah. Saya pun lebih banyak lagi membaca buku. Sementara tulisan saya tidak berkembang menjadi lebih baik.

Dari kegiatan membaca itu, terdapat beberapa buku mengenai jurnalistik yang bikin saya bergetar setelah membacanya. Pertama, buku yang tak sengaja saya beli judulnya Jurnalisme Kompas ditulis jurnalis senior Kompas, Yurnaldi.

Buku itu semacam pandauan jika ingin menjadi jurnalis di Kompas, atau semacam potongan cerita mengenai minat Yurnaldi dibidang jurnalistik sejak mahasiswa hingga ia jadi jurnalis di Kompas.

Yurnaldi menerbitkan sendiri bukunya itu. Hasil puluhan tahun bekerja menjadi jurnalis di Kompas cukup menyisakan uang buat mendirikan penerbitan sendiri.

Buku kedua yang bikin saya bergetar adalah bukunya Seno Gumira Ajidarma. Judulnya Triogi Insiden, saya menemukan buku itu berserak di lapak obral di toko buku Media Book, Jalan Batoro Katong, Ponorogo.

Sebetulnya buku itu adalah buku terbitan lama. Sebelumnya buku itu diterbitkan secara terpisah  menjadi  tiga buku, Saksi Mata,  novel Jazz, Parfum, dan Insiden , dan buku esai Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Yang menarik dari Trilogi Insiden, buku ini adalah  hasil liputan majalah Jakarta-Jakarta mengenai insiden di Timor Timur. Isu tersebut sangat sensitif waktu itu. Pemberitaan mengenai Timor Timur mendapat sensor dari pemerintah.

Maka Seno bersiasat, bahan mentah hasil wawancara di Timor Timur itu dialihkan mediumnya, dari serangakaian kegiatan jurnalistik menjadi sekumpulan cerpen, novel, dan sekumpulan esai.

Sementara buku  ketiga mengenai jurnalisme yang tak kalah membikin saya bergetar adalah komik novel Footnotes in Gaza karya jurnalis Amerika, Joe Sacco.

Buku itu, saya temukan bersamaan dengan Trilogi Insiden. Saya butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya; terlalu banyak gambar dan terlalu tebal.

Tapi, teman yang suka grafis, menyelesaikan buku itu tak sampai satu minggu. “Asu, buku iki gae aku nangis,” katanya usai menyelesaikan  Footnotes in Gaza. Saya pun jadi penasaran, dan ngebut untuk menyelesaikannya.

Hasilnya, ketika saya membaca buku itu dengan cara menikmati detail goresan gambarnya, rasanya, Joe Sacco seperti mengajak saya untuk berjalan-jalan bersamanya menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan pengungsi di Gaza.

Ketiga buku itu, yang mencuci otak saya untuk jadi jurnalis. Sebuah fakta, data lapangan, ternyata bisa jadi karya yang menarik seperti itu.

Meskipun ketika  saya benar-benar jadi jurnalis ternyata kerja jurnalis itu tak senikmat seperti yang saya bayangkan.

Di sisi lain, saya harus maklum, saya jadi junalis daerah, Kediri. Saya harus sadar, bahwa menjadi jurnalis daerah  yang dihadapi bukan isu-isu besar seperti konflik  Timor Timur, konflik Palestina dan Israel, atau misalnya bisa meliput mengenai sosok seperti Rhoma Irama atau Jokowi.

Menjadi jurnalis di daerah, yang dihadapi adalah isu-isu yang serba kedaerahan. Sehingga dengan cara menyadari seperti itu, saya bisa sedikit menikmatinya. Saya tak bisa memilih-milih isu. Isu apa pun yang ada, harus diolah sebaik-baiknya.

Meskipun saya tak bisa bertahan lama jadi jurnalis di Kediri, paling tidak, ada sedikit kepuasan. Ketika seorang teman memberi kabar bahwa salah satu karya jurnalistik saya menang dalam kompetisi triwulan yang diadakan Jawa Pos Grup, pada September 2020 lalu.

Kompetisi Product Quality Jawa Pos Grup itu menguji karya jurnalistik dari ratusan anak perusahaan Jawa Pos Grup yang tersebar di daerah. Yang dilombakan mulai dari konten, hingga layout-nya.  

Karya jurnalistik saya yang bergenre feature/boks, masuk empat terbaik, judulnya Ada yang Terbelit Utang, Ada yang Terusir Ipar . Tentu saja, hasil itu tak terlepas berkat tangan dingin redaktur.