21 October 2018

Pengalaman Mencuri Buku


Di SD ku dulu ada gudang yang menyimpan buku-buku. Aku yakin buku-buku itu kiriman dari Dinas Pendidikan. Soalnya banyak sekali cap DISPENDIKBUD pada sampulnya.

Alih-alih bikin perpustakaan, pihak sekolah malah menggudangkan buku-buku itu. Gudangnya tepat di samping kelas 6. Di samping kelasku. Waktu itu aku sudah kelas 6.

Tiap pagi gudang itu dibuka oleh petugas kebersihan. Selain buat menyimpun buku-buku, gudang itu juga menyimpan alat-alat kebersihan.

Sesekali, saya menyelinap ke dalam gudang, dan melihat gambar sampulnya. Belum berani menyentuh. Cuma melihat saja. Gambar sampulnya banyak yang menarik. Berbeda dengan gambar sampul LKS yang selelau monoton: kalau nggak gambar pantai Prigi, biasanya pantai Pelang (obyek wisata Kabupaten Trenggalek, kayaknya kami disiapkan buat jadi konsumen pariwisata).

Seiring berjalannya waktu, intensitasku menyelinap ke gudang itu makin sering. Dan aku mulai berani menyentuh satu-dua buku. Tentu yang saya buka yang gambar sampulnya menarik. Saya berharap dapat menemukan komik di gudang itu, komi Naruto atau yang lain. Saya tinggal di desa. Jadi tak ada toko buku yang jual komik.

Kemudian, di luar jam sekolah,  kami main sepak bola di lapangan sekolah. Muncullah ide untuk menyusup lagi ke gudang sekolah. Entah siapa yang punya ide jahat ini, akhirnya kami menyusup ke gudang itu lewat jendela.

Di dalam gudang, saya sudah tidak tahan lagi untuk tidak mencuri satu-dua buku. Dan teman-teman saya juga tidak tahan untuk tidak mencuri satu-dua barang-barang yang mereka suka. Karena tak ada komik di gudang itu, akhirnya saya memutuskan mengambil buku Nabi Musa dan Nabi Nuh. Paling tidak di dalam buku itu ada gambar-gambarnya. Dan teman-teman yang lain mengambil satu-dua barang yang mereka suka.

Menyusup ke gudang membikin kami ketagihan. Beberapa kali kami menyusup ke gudang itu. Tapi tidak selalu untuk mencuri. Hingga suatu hari petugas kebersihan menyadari ulah kami. Dia memaku jendela yang sering kami gunakan untuk menyusup. Sehingga kami tidak bisa menyusup lagi.

Pengalaman Pertama Membaca Chairil Anwar

Sepanjang belajar di SMK jurusan TKR (Teknik Kendaraan Ringan) tak ada materi yang menyinggung Chairil Anwar. Oleh guru bahasa, kami disuruh untuk buat cerita pendek. Itu materi bahasa Indonesia yang masih aku ingat. Aku bikin cerita pendek asal-asalan. Tapi ada semacam kepuasan batiniah ketika menyerahkan cerita pendek asal-asalan itu kepada guru kami. Aku membayangkan karya bakal  dibaca.

Waktu itu, aku tak kenal Chairil Anwar. Sastra bagiku adalah pantun. Atau puisi anak-anak. Tentang sawah, pelangi, guru, dan semacamnya. Materi tentang pantun kuterima saat SMP.

Selebihnya saat remaja, puisi yang kutahu adalah puisi cinta. Puisi yang kubaca dari buku yang kupinjam dari tetangga. Ia bekerja di kota. Sebabai baby sister bayi. Ketika pulang ia membawa buku itu. Ketika berangkat lagi kerja, buku itu ditinggal di rumah. Maka, saya meminjamnya. Seorang gadis desa. Umurnya jauh di atasku. Aku memanggilnya Mbak. Kami masih saudara jauh.

Buku puisi itu bukan murni buku puisi. Melainkan semacam buku kumpulan surat. Buku itu jelas bukan buku sastra. Semacam buku bacaan buat ABG yang lagi kasmaran. Surat-surat dalam buku itu, memuat surat dua pasang kekasih. Aku membacanya tidak tuntas. Membosankan. Di SMP, aku tidak terlalu suka membaca buku. Tak ada budaya literasi di sekolah maupun di rumah. Sehingga tak ada yang mendorongku atau memotivasiku untuk membaca,

Kegiatan literasi yang kujalani merupakan kegiatan yang alamiah. Tanpa dipaksa oleh siapa-siapa. Tanpa hukuman-hukuman layaknya anak kota yang tak patuh pada orangtua. Anak gunung sepertiku lebih akrab dengan hutan, pohon, ladang jagung, sungai, sawah, burung, kambing, sapi. Ketimbang buku. Buku lebih identik dengan orang kota. Orang desa tak sempat membaca buku. Bekerja sudah cukup melelahkan

Kesadaran literasi itu bermula ketika saya bosan di kelas melulu. Karena sekolah swasta siswa lebih longgar buat bolos.

Dan sekolah kami adalah sekolah swasta yang bentuknya Yayasan. Yayasan tersebut menampung antara lain, SMA, SMEA, dan SMK. Suatu hari  ketika jam kosong, saya main-main ke kelas SMA (masih satu yayasan). SMA juga sedang kosong. Di ruang kelas yang kumasuki, di papan tulisnya yang masih menggunakan kapur tertulis "Sajak Putih". Sajak itu memenuhi seluruh papan tulis. Ukuran hurufnya besar dan yang menuliskannya berbakat menulis indah. Saya membacanya dan, jalang! Begitu kira-kira makian saya jika saja saya sudah tahu bahwa Chairil Anwar itu binatang jalang.

Sejak itu aku tertarik dengan buku. Menyempatkan bertanya soal Perpustakaan Daerah pada teman-teman yang domisilnya asli kota. Gimana cara daftar jadi anggota? Apa saja syaratnya ? Buku apa saja yang ada di PERPUSDA? Maklum anak desa asli. Jadi serba tidak tahu soal PERPUSDA.

Soalnya kegiatan literasi adalah kegiatan yang asing bagi orang desa. Soalnya. bapak-ibu kami,tak terbiasa dengan buku. Kebanyakan orang desa lulus SD. Sedikit orang yang lulus SMA. Dan orang-orang yang lulus SMA ini pun tak punya kesadaran literasi. Hasilnya, anak-anak seperti kami yang tumbuh dilingkungai tak sadar literasi, jadi ikut pula tak sadar literasi. Lingkungan membentuk sifat-sifat kami.

Tapi akhirnya, ketika saya sudah punya KTP, saya memberanikan diri untuk mendaftarkan diri ke PERPUSDA. Waktu itu, kira-kira umur saya 17 tahun. Sekarang sudah 24. Jadi, kegiatan litarsi saya kurang lebih sudah berjalan 7 tahun. Masih ecek-ecek. Beberapa orang yang keluarganya punya dasar literasi, memulai kegiatan literasinya sejak umur 7 atau 8 tahun. Jadi, kalau disamakan dengan umurku yang 24 tahun, aku kalah jauh. Mereka sudah biasa dengan kegiatan literasi selama 17 tahun. Sedangkan aku masih 7 tahun, selisih 10 tahun.

Another Trip to the Moon

Another Trip to The Moon karya ‎Ismail Basbeth merupakan film tanpa dialog. Memasukan voice mantra, dipadukan dengan musik latar tradisional, menghasilkan suasana yang magis.

Menceritakan tokoh perempuan (Tara Basro) yang dipaksa menikah oleh ibunya, lalu melarikan diri ke hutan dan bertemu serta hidup dengan tokoh perempuan lain. Hutan menjadi tempat melarikan diri dan penemuan jati diri ketika sang tokoh utama keluar dari dominasi dan struktur kekuasaan yang dipaksakan kepadanya. Tokoh utama melakukan perlawanan kepada kekuatan matriark.

Sebelum nonton Another Trip to the Moon, saya pernah nonton beberapa film Alejandro Jodorowski.  Film yang saya tonton itu berjudul, El Topo, Holy Mountain, dan Santa Sangre. Ketiga film tersebut sarat dengan gambar-gambar surreal, pikiran-pikiran magis sekaligus filosofis dan nyaris melampaui batas-batas keumuman. Sejumlah kritikus menganggap film-film Jodorowsky anti-kapitalis, anti-imperialis, anti-agama, dan anti-keluarga.

Terlepas dari keanehan yang berlebihan dari film Alejandro, agaknya Ismail punya kecendurangan yang mirip dengan gaya Alejandro. Yakni memasukan gambar-gambar surreal. Tikus besar yang menghampiri tokoh utama, kelinci mainan dalam hutan rimba, atau tiba-tiba adegan dari hutan berganti adegan kota yang dipenuhi perangkat teknologi modern. Hal ini bukan suatu hal yang baru dalam film. Film Alejandro mempunyai banyak adegan yang serupa.

Di Santa Sagre, ada adegan yang memperihatkan bendera Amerika. Bendera Amerika menyimbolkan bapak yang penuh kuasa. Sante Sangre punya muatan politis yang berlapis-lapis. Sesudah tokoh protagonis menghancurkan bapak atau kehilangan bapak, ia berada di bawah kekuasan ibu (matriarki). Selanjutnya adalah perjuangan protagonist agar terbebas dari kukungan matriarki. Ia berusaha keras agar bisa keluar dari kegilaannya. Keinginan-keingin Ibu di dalam dirinya yang harus terus dipenuhi.

Another Trip to The Moon, kurang lebih mempunyai pesan yang sama. Yakni pertentangan tokoh utama demi bisa keluar dari bayang-bayang ibunya. Di akhir cerita, tokoh utama berhasil lepas dari bayang-bayang itu. Dengan meninggalkan suami dan anaknya menuju bulan bersama kekasih lesbiannya. Akibatnya, anak yang dia lahirkan harus hidup tanpa ibu.