25 November 2020

Menghitung Patung Reog di Ponorogo, dari Ujung Timur hingga Ujung Barat

Jika mau menghitung patung reog di Ponorogo, tentu  jumlahnya ada ribuan dengan berbagai macam variasi bentuk. Patung-patung itu berdiri di batas kota, di jalan masuk kecamatan, di gang desa, atau terlukis di dinding-dinding rumah warga.

Foto: sebuah lukisan dinding di salah satu rumah di Ponorogo 




Para pendatang dari arah Madiun, Pacitan, atau Trenggalek, mereka akan menjadikan patung reog sebagai penanda bahwa perjalanannya telah tiba di tanah para warok.

Sementara orang Ponorogo sendiri, menjadikan patung-patung reog itu sebagai kebanggaan, begitu menghayatinya mereka atas budaya asli Ponorogo itu, hingga nyaris tidak ada desa di Ponorogo tanpa berdiri gagah patung reog di sana.

Bagi orang Ponorogo, reog adalah budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar seni pertunjukan, bukan sekadar seni panggung untuk ditonton selama pentas, tapi mereka memebawa budaya itu pulang ke rumah.

Ada banyak cerita mengenai reog dalam laku kehidupan orang Ponorogo, mulai dari cerita lisan seperti kisah Suminten Edan yang pernah ngetop jadi lakon Ketoprak.

Suminten Edan adalah kisah populer yang disebarkan oleh seniman-seniman ketoprak pada tahun sekitar 1990-an atau jauh sebelum itu, dan dipanggungkan di berbagai kota lain,  daerah lain, sehingga sepenggal kisah tentang Ponorogo itu dipahami oleh sebagian orang dari luar Ponorogo.

Tentu saja, kisah itu bukanlah kisah yang utuh, kisah itu dipotong untuk dijadikan kisah yang sesuai untuk dipertunjukkan, di mana warok digambarkan hitam dan putih, pertarungan antara Warok Siman dengan Warok Suromenggolo adalah pertarungan antara jahat dan baik.

Di Ponorogo sendiri, ada berbagai macam variasi cerita mengenai warok, bahkan asal-usul nama Ponorogo, jika ditelusuri, bisa berpangkal dari kisah warok yang lain.

Sementara genealogi  sejarah reog, bisa  ditelusuri dari kisah antara Bantarangin dan Kediri, kisah yang disepakati sebagai pangkal dari terciptanya budaya Reog.

Meskipun sebagian menafsirkan, reog adalah seni pemberontakan, bahwa topeng ukuran besar yang disebut Dadak Merak berkepala singa yang ditunggangi merak itu adalah sindiran keras bagi Raja Brawijaya yang takluk dan memperistri wanita China Siu Ban Ci, singa adalah simbol untuk Brawijaya, dan merak untuk istrinya.

Reog sebagai laku hidup, sebagai budaya yang menghujam di tanah Ponorogo, bisa dilihat dari komponen penting yang tak bisa dilepaskan  dari reog yaitu warok.

Selain menjadi pemimpin rombongan reog,  dalam pertunjukkan, warok berperan sebagai penjaga terselenggaranya pertunjukkan Reog tanpa kerusuhan, tanpa didatangi malapetaka.

Di panggung kecil, saat hari jadi Ponorogo yang jatuh pada bulan Suro, warok menjadi komponen penting yang selalu muncul dalam pementasan reog, bermuka sangar dengan riasan pipi yang dihitam-hitamkan dan dimerah-merahkan, dan memakai jenggot atau brewok palsu, memakai ikat kepala hitam (udeng), baju hitam, dan ikat pinggang putih (usus-usus) .

Warok di panggung itu adalah warok yang artifisial, tetapi bagi orang Ponorogo, warok di panggung besar bernama kehidupan, mereka adalah pimpinan  di desa, warok adalah orang yang sudah mencapai tahap tertinggi sebagai manusia yang bijaksana.

Dalam bahasa Jawa mataraman, warok bisa berarti sesuatu yang kuat. Sebagian menafsirkan kata warok berasal dari bahasa Arab, wara' yang artinya menjauhkan diri dari sifat angkara murka, sehingga warok bisa juga ditafsirkan sebagai sufi, atau kiai, atau pendeta, atau biksu, intinya adalah mereka yang telah menjadi manusia paripurna.

Namun, jika dilihat dari laku yang dijalani oleh warok, yang mengharuskan para Warok berpuasa Pati Geni, ngebleng, dan bersemedi, mereka adalah penghayat Kejawen. Jika para calon warok ini berhasil menjalani laku yang sudah ditetapkan, mereka akan memperoleh linuwih atau kelebihan-kelebihan tertentu.

Setelah mempunyai kelebihan, dalam menjalani kehidupan para warok ini mempraktekan Mo Limo, tidak melakukan madon, mendem, maling, main, madat.

Sebagai warok paripurna, mereka dipercaya untuk memimpin di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, dan sebagian warok menjalani hidup sebagai orang biasa di desa, menjadikan tanah Ponorogo seimbang.

Sehingga jika kau mengunjungi desa-desa di Ponorogo, selain patung-patung reog, kau akan mendapati berbagai macam variasi kisah warok, mengenai kebijakasaan mereka, maupun kesaktian mereka, bagaimanapun Ponorogo adalah tanah para warok.***