26 November 2016

Gebang Tinatar

Selama tiga tahun tinggal di Ponorogo ada beberapa tempat yang ingin saya kunjungi lebih dari satu kali. Salah satu tempat itu, Tegal Sari. Saya pernah berkunjung ke sana satu kali dan itu sudah lama, tapi bulan ini, bulan November, tiba-tiba muncul keinginan untuk berkunjung kesana lagi.

Dan yang tidak direncanakan justru terlaksana, malam itu akhirnya saya ke Tegal Sari, tanpa rencana sebelumnya, semacam keinginan yang tiba-tiba muncul yang harus segera dituntaskan.


Bagi orang-orang yang menyukai perihal yang berbau sejarah sepatutnya jika sedang berada di Ponorogo barang sebentar singgahlah ke Tegal Sari. Di dearah ini ada pesantren tua yang bernama Gebang Tinatar, tapi pesantren ini lebih dikenal dengan nama daerahnya; Tegal Sari.


Hasan Besari adalah pendiri pesantren yang terkenal itu. Beliau memilih mendirikan pesantren di tempat terpencil jauh dari kesan strategis. Namun meskipun terletak jauh dari  pusat kota, Gebang Tinatar tetap eksis. Sayangnya tidak ada referensi yang jelas kapan tepatnya pesantren itu pertama kali berdiri, hanya selentingan dari cerita lisan yang patut kita curigai. Dikabarkan dalam babad Tegal Sari bahwa pada tahun 1742 Pakubuwana II pernah nyantri di pesantren ini. Maka jika di tahun 1742 pesantren ini sudah berdiri berarti sudah berumur lebih dari seabad. Diceritakan juga bahwa Gebang Tinatar dahulu diminati ribuan santri sampai pesantren tidak muat menampung santri yang berjumlah banyak itu, sehingga didirikanlah pondokan di sekitar pesantren.


Maka sastri dan warga desa dilingkungan pesantren saling berbaur,  tidak ada sekat, tidak ada batas antara ruang kelas dan laboratorium sosial. Ini satu di antara kearifan pesantren tempo dulu. Santri tidak terspesialisasikan di dalam ruang-ruang kelas yang memisahkan antara ilmu sosial dan ilmu sain. Konon, di Gebang Tinatar santri juga ikut mencangkul di sawah, belajar tentang keterampilan agraris; bercocok tanan. Jadi selama santri belajar di pondok mereka tidak hanya mendapat pengetahuan tentang fikih, tapi juga tentang kehidupan. Sehingga ketika mereka keluar dari pondok mereka punya keterampilan buat hidup.


Meskipun santrinya terbilang sangat banyak, kualitas Gebang Tinatar sebanding dengan kuantitasnya, dibuktikan dengan keberhasilan melahirkan dua tokoh besar. Pujangga jawa; Rangga Warsito dan H.O.S Cokroaminoto, tokoh nasionalis yang pemikirannya juga mempengaruhi Soekarno. Meskipun mereka sama-sama alumni Gebang Tinatar akan tetapi mereka adalah santri dari dua generasi yang berbeda, H.O.S Cokroaminoto lebih belakangan nyantri di Gebang Tinatar.


Sehingga malam itu untuk mengenang dua tokoh besar tersebut maka kami memutuskan untuk mencari warung kopi di sekitar pesantren. Dan tidak sulit menemukan warung kopi, di utara masjid berdiri beberapa warung yang berjejer menghadap ke selatan.


Kami memilih warung yang lenggang. Udara dingin sisa-sisa hujan tadi sore masih terasa. Setelah kopi terhidang di meja, lantas segera kami tuang ke lepek dan kami seruput selagi masih hangat. Di warung itu bebebarengan dengan kami, ada beberapa orangtua berbaju takwa putih dan mengenakan sarung sedang mengobrol, tampak asyik klepas-klepus  menejepit sebatang rokok kretek. Memunculkan suasana kesan khas pesantren tradisional.Tapi, tidak lama kemudian beliau-beliau itu pergi, disertai dengan penuh ramah menyalami kami, hal itu membuat kami canggung.


Dari warung, kami bisa menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang di halaman masjid, ada yang menuju makam, ada yang menuju masjid, ada yang mampir ke warung. Kompleks di masjid Gebang Tinatar terdiri dari tiga bagian; dalem gede, masjid, dan makam. Sementara arsitektur di masjid ini bergaya jawa dan memiliki tiang sejumlah 36 dan atap masjid berbentuk kerucut.


Kini santrinya sudah tidak seramai dulu, meskipun sebetulnya masih terasa bekas-bekas betapa dahulu Gebang Tinantar pernah menjadi pesantren yang terkenal. Dibuktikan dengan banyaknya peziarah yang datang di hari-hari tertentu. Misalnya, malam Jumat atau saat malam ganjil saat bulan puasa, pada hari-hari tersebut berduyun-duyun para peziarah yang datang dari dalam dan luar kota.


Tapi malam itu karena malam rabu, tidak terlalu banyak peziarah yang datang, namun juga tidak bisa dibilang sedikit. Kira-kira, misalkan hitungan saya tepat, ada sekitar enam puluh orang yang berada disekitaran masjid. Ada yang ngopi, ada yang ngobrol di parkiran, ada yang di dalam masjid dan ada yang tidur di teras masjid. Itu hasil pengamatan saat sedang ngopi di warung.


Ketika jam yang tergantung di dinding menunjuk angka dua belas, kami hendak pulang karena warung harus tutup, namun ternyata teman kami datang. Kita tidak jadi pulang, akhirnya kami melanjutkan ngopi di warung sebelah yang masih buka.


Semakin larut pengunjung semakin sepi. Jam tiga pagi kemudian setelah warung yang terakhir itu tutup maka kami pun pulang. Sesederhana apa pun peninggalan sejarah apabila kita tengok kembali, maka akan memunculkan banyak hal yang bisa kita pelajari, begitulah dan malam itu kami pulang  membawa sedikit pengetahuan tentang masa lalu.



14 November 2016

Manusia Jawa

Puncak kebahagian manusia menurut Suryomentaram, yaitu ketika manusia tidak memiliki ciri lagi atau bersikap altruisme: mementingkan kepentingan orang lain (liyan) di atas kepentingannya sendiri. Manusia yang sudah terbebas dari ego, sehingga cintanya (sih) tak lagi terbatas. Pada puncak itu, manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Tahap demi tahap untuk mencapai puncak tertinggi dari kabahagian manusia dituangkan oleh Suryomentaram dalam Kawruh Jiwa, berangkat dari kegelisahan Suryomentaram tentang “siapa manusia sesungguhnya?” Pertanyaan itulah yang selalu melekat di dalam dirinya ketika ia masih remaja. Bahkan pertanyaan yang sama masih ia tanyakan, sampai kelak, ketika ia tumbuh menjadi dewasa.

Selanjutnya uraian singkat tentang pemikiran Suryomentaram, saya rujuk dari buku “Psiksologi Raos Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram” yang ditulis oleh Ryan Sugiarto (alumnus Fakultas Psikologi UGM).

Suryomentaram dilahirkan sebagai pangeran (putra Sultan Hamengku Buwono VI), menjadi pangeran yang serba berkecukupan ternyata tidak membuat hati Suryomentaram bahagia. Ia gelisah mempertanyakan hakikat kebahagian. Kabur dari keraton dan mengembara sampai ke pelosok-pelosok desa, merentangkan pengalamannya melampaui adat keraton yang ketat. Dalam pengembaraannya, ia pernah  berdagang di pasar dan juga pernah bekerja sebagai penggali sumur. Semua dilakukan untuk mencari hakikat kebahagiaan dan menemukan jawaban atas perntanyaanya: siapa sesungguhnya manusia itu?

Perjalanan hidupnya adalah laku mengumpulkan pengetahuan, sesuai pepatah Jawa ilmu iku kelakone kanthi laku. Kegelisahan Suryomentaram untuk mencari hakikat manusia serupa kaum filsuf atau memang ia seorang filsuf? Bagamaina pun ajaran Suryomentaram menganjurkan kebijaksanaan.
Ketika tinggal di Yogyakarta, bersama Ki Hajar Dewantara, dia mengadakan diskusi rutinan mengenai pendidikan, bahkan Taman Siswa didirikan di rumahnya. Ki Hajar Dewantara kebagian tugas mengajar anak-anak dan remaja usia sekolah. Sementara Suryomentaram kebagian tugas mengajar para orangtua.

Kebutuhan pengetahuan para orangtua dan anak-anak seusia sekolah tentu berbeda, para orangtua lebih tertarik mempelajari hakikat kehidupan. Kawruh Jiwa adalah salah satu dokumen penting yang pernah ditulis olehnya. Buku yang menganalisa sudut terdalam dari diri manusia, terutama mengenai “sih”.

Tujuan perkembangan jiwa manusia menurut Suryomentaram yaitu untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang utuh ialah manusia yang berhasil mengalami pencerahan. Menurut rumusan Suryomentara tahap-tahap untuk mencapai manusia yang seutuhnya harus melewati empat dimensi.
Empat dimensi itu di antaranya, (1) sebagai juru catat,(2) kumpulan catatan, (3) ke-aku-an atau Kradamangsa, (4) dan manusia tanpa ciri. Empat dimensi ini harus betul-betul diketahui agar seseorang menjadi manusia seutuhnya.

Pada dimensi 1, manusia masih sekadar mempunyai rasa ingin tetapi ingin-nya tersebut belum sampai termanifestasikan. Seperti bayi yang baru lahir, bayi yang baru lahir sudah mampu merasakan apa-apa, namun anggota badannya belum sanggup bereaksi menurut keinginan dan perasaannya. Secara naluriah bayi manusia tersebut adalah pencatat atau perekam atas pengalaman-pengalaman.

Sementara tahap selajutnya, dimensi 2, manusia yang menyimpan kumpulan catatan. Kumpulan cacatan tersebut berupa; rekaman peristiwa hidup. Catatan-catatan ini menjadi modal penting bagi manusia untuk menemukan “aku”nya atau identitas. Karena pada dimensi 2 ini manusia sudah mempunyai “identitas” maka ia mulai memahami dirinya dan lingkungan. Dan menyadari bahwa ia berbeda dengan yang lain. Pada dimenasi manusia mempunyai kesadaran mengenai keluarga, rumah, lingkungan, dan tempat tinggalnya.

Ukuran selanjutnya yaitu dimensi 3, manusia yang sudah menemukan ke-aku-annya. Dimensi 3 ialah tahap seseorang mulai berpikir. Pada tahap ini manusia menggunakan rasionalitasnya. Ke-aku-an oleh Suryomentaram disebut juga Kradamangsa. Kradamangsa terbentuk sejak ‘aku’ (kecil) manunggal dengan Kradamangsa. Biasanya sejak umur dua atau tiga tahun. Sebelum ‘aku’ (kecil) manunggal dengan Kradamangsa, anak-anak menyebut dirinya tidak dengan ‘aku’, tetapi menyebut namanya. Sebelum Kradamangsa terbentuk anak sudah mempunyai catatan namun cara menanggapi catatan masih sering salah.

Ke-aku-anlah yang memikirkan catatan-catatan dalam dimensi 2, untuk bergerak ke dimensi 3. Jika dimensi 3 ini dipuaskan, manusia akan berada pada dimensi ini terus, sebab ke-aku-an bersifat “selalu ingin”. Suryomentaram mengklaim bahwa berpikir justru merintangi kebebasan manusia. Yang dimaksud dengan berpikir merintangi kebebasan manusia ialah membebaskan pikiran dari rasa ke-aku-an. Bukan melarang manusia untuk berpikir.

Menurut Suryomentaram, tumbuhnya rasa ke-aku-an  subjektif menjadikan diri sebagai buruh dari beragam catatan-catatan dan rekaman yang disenangi. Sehingga catatan-catatan atau rekaman yang disenangi akan memperbudak “aku” subjektif. Hal itu karena dalam tahap ke-aku-an penggerak utamanya adalah “keinginan”.

Selain itu, ke-aku-an memandang interaksi sosial atau masyarakat atau orang lain sebagai cermin. Sifat dari ke-aku-an adalah mendorong manusia untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mempertimbangkan atau peduli kepada orang lain sehingga membuat manusia bertindak sewenang-wenang. Sementara untuk melepaskannya “aku sejati” dari ke-aku-an maka manusia harus bergerak menuju dimensi 4 dan memperoleh sih . Jalan menuju dimensi 4 yaitu “mawas diri”. Mawas diri ialah metode untuk memahami keadaan dirinya yang sejujur-jujurnya.

Dengan mawas diri manusia akan mengetahui rasa yang muncul dari catatan-catatan. Antara “aku sejati” dan “ke-aku-an”, Suryomentaram menyebutnya sebagai jalan simpang tiga, yang satu menuju “ke-aku-an”, sementara yang satunya lagi menuju ‘manusia tanpa ciri’. Maka manusia harus memilih jalan yang menuju “manusia tanpa ciri”. Dengan begitu rasa ke-aku-nya akan hilang, dan ia menjadi tuan bagi dirinya sendiri, bukan tuan dari catantan-catatannya.