25 June 2022

Huda adalah Komik Lincung

Menyaksikan temanku, Huda, duduk di kursi kayu khas Wakoka didampingi kekasihnya: Santi, seperti mendengar lagu Willie Deadwilder and Rebeca yang dinyanyikan Cat Power.

Tapi cerita tentang Huda dimulai 2013 yang lalu, saat dia membawa tas besar yang berisikan laptop Toshiba dengan berat lebih dari 1 Kg, alat yang dia gunakan hingga bertahun-tahun kemudian untuk mengerjakan desain, film, dan Komik Lincung-nya.

“Hud, dari mana kau punya ide Komik Lincung?” tanyaku.

Ingatannya kemudian menerawang jauh ke belakang, dia mengingat masa kecilnya ketika di Banyuwangi, yang menurut pengakuan Huda, banyak mempengaruhi hidupnya setelah menjadi dewasa.

Kenangan ditinggal ayahnya ke Jayapura sejak kecil membekas sepanjang hidup. Dia mengingat, pesan sebelum ayahnya pergi meninggalkan Pulau Jawa,” jagalah ibu dan adikmu!”  

Ditinggal ayahnya adalah kesedihan, tapi di balik pesan menjaga ibu dan adiknya, ditafsirkan oleh Huda dengan cara yang berbeda.

Kau tak akan menyangka dengan penampilannya kini yang kalem, Huda masa kecil ternyata suka berkelahi dan bikin onar.

Sikap yang diambilnya itu adalah ego dari anak pertama, dan mungkin salah menafsirkan pesan ayahnya agar menjaga ibu dan adik.

Maka tak perlu heran, jika dari beberapa bagian Komik Lincung, kau menemukan banyak adegan berdarah, brutal, yang sebetulnya, jika diinggat, banyak lucunya: itu berasal dari kenangan masa kecilnya.

Misalnya kau akan melihat Mamad yang berada di parkiran kampus tiba-tiba kakinya putus atau seorang perempuan yang lehernya putus karena disabet pedang.

“Terlalu banyak emosi,” katanya.

Tapi soal nama Komik Lincung, katanya, itu berasal dari dendamnya bertahun-tahun karena sering jadi korban bully.

Ada masa transformasi dari kehidupan yang riang, brutal, penuh perkelahian, menjadi sosok pendiam ketika Huda masuk pondok.

Dari ingatan pahit itulah, nama Lincung muncul.  Lincung merupakan kata dari Bahasa Jawa yang artinya kotoran ayam berwarna hitam dan berbau tengik.

“Kotoran yang membuatnya tidak dipedulikan, dan justru, semua orang ingin menyingkirkannya,” katanya.

Tapi dari Komik Lincung pula, Huda sempat punya masalah dengan dosen kami, Pak Iswahyudi yang mengkritik karyanya karena sering menggambarkan kengerian: tangan terpotong, leher putus, kaki terpotong tinggal satu, atau badan yang terbelah menjadi dua.

Bagi Huda, Komik Lincung adalah buku harian, untuk mencatat peristiwa yang dia lihat dari hari ke hari, juga untuk mencatat peristiwa dalam batinnya dari hari ke hari.

Kau akan melihat karakter Mamat yang berada di mana-mana, dan bersama orang-orang yang berbeda, dan dengan celetukan yang kadang-kadang bikin kau tertawa.

Suatu hari, aku melihat Huda dari sisi yang lain, ketika  berada di kamar kos di Jalan Barong, terlihat banyak puntung rokok di asbak. Aku melihat ada semangat di sana, seperti seorang pemarah yang ingin membakar dunia dengan semangatnya.

Di tempat itulah, dia menghabiskan waktunya dalam kesendirian, mencari cara agar tetap bisa bertahan di Jawa, dan sesekali mengorbankan Komik Lincung untuk mengerjakan hal lain yang bisa menghasilkan uang.

Tapi di lain waktu, tubuhnya yang kurus membuatnya dikira sebagai pecandu narkoba yang bikin dirinya dicurigai sepanjang hari oleh Pak Kos.

Cerita tak berhenti disana, Komik Lincung mencatat kegalauannya antara terus tinggal di Jawa atau pergi ke Jayapura. Huda memilih ke Jayapura, tinggal beberapa bulan di sana, kemudian dia kembali ke Jawa.

Sayangnya, di saat-saat itu pula, Huda memutuskan Komik Lincung tidak terbit lagi. Sebetulnya Huda cerita kepadaku alasan yang membuat dia berhenti melanjutkan komik yang brutal itu, tapi biarlah, tak usah diceritakan di sini.