27 December 2020

Resolusi Akhir Tahun: Mendadak Ingat Soe Hok Gie

Alih-alih mengevaluasi apa saja yang belum tercapai dan apa saja yang tercapai di tahun 2020 ini, dan menyiapkan rencana selanjutnya di tahun 2021 selayaknya sebuah resolusi akhir tahun yang benar, saya malah teringat kematian Soe Hok Gie di bulan Desember tahun 1969.

Pemuda Jakarta itu mati muda, meninggal di puncak Gunung Semeru yang dingin dan sepi dari hiruk-pikuk duniawi seperti di Jakarta. Persis seperti keinginannya seperti disampaikan kepada temannya "Orang-orang seperti kita, tidak pantas mati di tempat tidur," kata Gie.

Gie mati ketika berusia 27 tahun seperti Jim Morrison yang juga mati di usia 27 tahun. Usia kematian mereka sama, sikap mereka pada dunia juga sama, Gie maupun Morrison. sama-sama pemuda pemberang yang marah dan memaki dunia.

Kemarahan Morrison tampak seperti dalam lirik lagu People Are Strange :

People are strange when you're a stranger

Faces look ugly when you're alone

Women seem wicked when you're unwanted

Streets are uneven when you're down  

Sementara kemarahan Gie tergores dalam tulisan-tulisannya baik dalam catatan harian maupun tulisan yang dipublikasikan. Gie tak segan menyebut nama-nama politikus Indonesia era tahun 60-an sebagai politikus bajingan.

“Aku kira kita juga di Indonesia sudah sampai saatnya untuk berkata ‘tidak’ kepada Soekarno. Memang Soekarno bukanlah Hitler bahkan dia adalah person yang begitu tragis dan harus dikasihani. Tetapi orang-orang di sekelilingnya baik militer maupun sipil adalah bajingan-bajingan yang tidak lebih berharga dari anjing kudis...” 

Gie juga menyebut Soekarno sebagai tukang kawin, atau Menteri Sobandrio sebagai politikus bajiangan.

Tetapi ketika kekuasaan Soekarno sudah jatuh dan berganti digenggaman tangan Soeharto, tak membuat Gie puas dengan pemerintahannya.

Bahkan dengan gamblang, Gie menulis Soeharto sama saja dengan Soekarno yang gila kuasa ketika kereta api yang ditumpanginya usai pulang mendaki dari Gunung Slamet dipaksa berhenti gara-gara rombongan Soeharto sedang turun ke bawah (turba). 

Marah pada dunia itu wajar-wajar saja. Tetapi bercita-cita mati muda itu soal lain. Tentu saja, saya tak seberani Gie mengutip puisi filsuf Yunani yang seolah-olah meramalkan kematiannya itu:

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan

Yang kedua dilahirkan tapi mati muda

Dan yang tersial adalah umur tua 

Gie mepunyai vitalitas dalam menjalani kehidupan ini, penuh ledakkan, mesti tak se-bohemian Chairil Anwar yang juga mengalami nasib serupa dengan Gie, bahkan Chairil mati diusia yang lebih muda ketika 26 tahun.

Berbeda dengan Chairil yang urakan, Gie cenderung teratur menjalani hidupnya. Dia juga sempat menjalani pekerjaan teratur seperti saat dia menjadi asisten dosen di UI.

Tetapi, tetap saja hidupnya dipenuhi vitalitas, dipenuhi dengan ledakan: melawan apa saja dan memaki dunia seenaknya

Kehidupan yang saya cita-citakan adalah kehidupan yang wajar-wajar saja. Maka wajar jika saya merasa was-was ketika usai saya mendekati usai kematian Gie di tahun 2021.

Yang melintang dipikiran saya adalah soal apakah saya bisa melewati usia keramat ini, dan jika pun bisa melewatinya bagaimana kehidupan yang wajar itu?

Sementara yang saya ketahui dari diri saya, dari tahun ke tahun, hanya usia biologis saja yang menua, sementara umur mental saya masihlah kanak-kanak.*

20 December 2020

3 Buku Jurnalisme yang Bikin Bergetar Usai Membacanya

Saya mengenal jurnalisme sejak bergabung dengan LPM Al Millah. Dari sana, saya bertemu dengan orang-orang yang satu minat sehingga saya makin tertarik di bidang jurnalistik.

Meskipun sebetulnya daripada menghasilkan karya jurnalistik, selama di LPM Al Millah, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku.

Kegiatan itu membuat saya jadi sangat jarang liputan di lapangan. Sangat jarang melatih keterampilan menggali data di lapangan; dan mengolah hasil liputan itu menjadi karya jurnalistik.

Maka wajar jika senior saya menempatkan saya di bagian Litbang LPM Al Millah. Saya pun lebih banyak lagi membaca buku. Sementara tulisan saya tidak berkembang menjadi lebih baik.

Dari kegiatan membaca itu, terdapat beberapa buku mengenai jurnalistik yang bikin saya bergetar setelah membacanya. Pertama, buku yang tak sengaja saya beli judulnya Jurnalisme Kompas ditulis jurnalis senior Kompas, Yurnaldi.

Buku itu semacam pandauan jika ingin menjadi jurnalis di Kompas, atau semacam potongan cerita mengenai minat Yurnaldi dibidang jurnalistik sejak mahasiswa hingga ia jadi jurnalis di Kompas.

Yurnaldi menerbitkan sendiri bukunya itu. Hasil puluhan tahun bekerja menjadi jurnalis di Kompas cukup menyisakan uang buat mendirikan penerbitan sendiri.

Buku kedua yang bikin saya bergetar adalah bukunya Seno Gumira Ajidarma. Judulnya Triogi Insiden, saya menemukan buku itu berserak di lapak obral di toko buku Media Book, Jalan Batoro Katong, Ponorogo.

Sebetulnya buku itu adalah buku terbitan lama. Sebelumnya buku itu diterbitkan secara terpisah  menjadi  tiga buku, Saksi Mata,  novel Jazz, Parfum, dan Insiden , dan buku esai Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.

Yang menarik dari Trilogi Insiden, buku ini adalah  hasil liputan majalah Jakarta-Jakarta mengenai insiden di Timor Timur. Isu tersebut sangat sensitif waktu itu. Pemberitaan mengenai Timor Timur mendapat sensor dari pemerintah.

Maka Seno bersiasat, bahan mentah hasil wawancara di Timor Timur itu dialihkan mediumnya, dari serangakaian kegiatan jurnalistik menjadi sekumpulan cerpen, novel, dan sekumpulan esai.

Sementara buku  ketiga mengenai jurnalisme yang tak kalah membikin saya bergetar adalah komik novel Footnotes in Gaza karya jurnalis Amerika, Joe Sacco.

Buku itu, saya temukan bersamaan dengan Trilogi Insiden. Saya butuh waktu yang lama untuk menyelesaikannya; terlalu banyak gambar dan terlalu tebal.

Tapi, teman yang suka grafis, menyelesaikan buku itu tak sampai satu minggu. “Asu, buku iki gae aku nangis,” katanya usai menyelesaikan  Footnotes in Gaza. Saya pun jadi penasaran, dan ngebut untuk menyelesaikannya.

Hasilnya, ketika saya membaca buku itu dengan cara menikmati detail goresan gambarnya, rasanya, Joe Sacco seperti mengajak saya untuk berjalan-jalan bersamanya menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan pengungsi di Gaza.

Ketiga buku itu, yang mencuci otak saya untuk jadi jurnalis. Sebuah fakta, data lapangan, ternyata bisa jadi karya yang menarik seperti itu.

Meskipun ketika  saya benar-benar jadi jurnalis ternyata kerja jurnalis itu tak senikmat seperti yang saya bayangkan.

Di sisi lain, saya harus maklum, saya jadi junalis daerah, Kediri. Saya harus sadar, bahwa menjadi jurnalis daerah  yang dihadapi bukan isu-isu besar seperti konflik  Timor Timur, konflik Palestina dan Israel, atau misalnya bisa meliput mengenai sosok seperti Rhoma Irama atau Jokowi.

Menjadi jurnalis di daerah, yang dihadapi adalah isu-isu yang serba kedaerahan. Sehingga dengan cara menyadari seperti itu, saya bisa sedikit menikmatinya. Saya tak bisa memilih-milih isu. Isu apa pun yang ada, harus diolah sebaik-baiknya.

Meskipun saya tak bisa bertahan lama jadi jurnalis di Kediri, paling tidak, ada sedikit kepuasan. Ketika seorang teman memberi kabar bahwa salah satu karya jurnalistik saya menang dalam kompetisi triwulan yang diadakan Jawa Pos Grup, pada September 2020 lalu.

Kompetisi Product Quality Jawa Pos Grup itu menguji karya jurnalistik dari ratusan anak perusahaan Jawa Pos Grup yang tersebar di daerah. Yang dilombakan mulai dari konten, hingga layout-nya.  

Karya jurnalistik saya yang bergenre feature/boks, masuk empat terbaik, judulnya Ada yang Terbelit Utang, Ada yang Terusir Ipar . Tentu saja, hasil itu tak terlepas berkat tangan dingin redaktur.

25 November 2020

Menghitung Patung Reog di Ponorogo, dari Ujung Timur hingga Ujung Barat

Jika mau menghitung patung reog di Ponorogo, tentu  jumlahnya ada ribuan dengan berbagai macam variasi bentuk. Patung-patung itu berdiri di batas kota, di jalan masuk kecamatan, di gang desa, atau terlukis di dinding-dinding rumah warga.

Foto: sebuah lukisan dinding di salah satu rumah di Ponorogo 




Para pendatang dari arah Madiun, Pacitan, atau Trenggalek, mereka akan menjadikan patung reog sebagai penanda bahwa perjalanannya telah tiba di tanah para warok.

Sementara orang Ponorogo sendiri, menjadikan patung-patung reog itu sebagai kebanggaan, begitu menghayatinya mereka atas budaya asli Ponorogo itu, hingga nyaris tidak ada desa di Ponorogo tanpa berdiri gagah patung reog di sana.

Bagi orang Ponorogo, reog adalah budaya yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar seni pertunjukan, bukan sekadar seni panggung untuk ditonton selama pentas, tapi mereka memebawa budaya itu pulang ke rumah.

Ada banyak cerita mengenai reog dalam laku kehidupan orang Ponorogo, mulai dari cerita lisan seperti kisah Suminten Edan yang pernah ngetop jadi lakon Ketoprak.

Suminten Edan adalah kisah populer yang disebarkan oleh seniman-seniman ketoprak pada tahun sekitar 1990-an atau jauh sebelum itu, dan dipanggungkan di berbagai kota lain,  daerah lain, sehingga sepenggal kisah tentang Ponorogo itu dipahami oleh sebagian orang dari luar Ponorogo.

Tentu saja, kisah itu bukanlah kisah yang utuh, kisah itu dipotong untuk dijadikan kisah yang sesuai untuk dipertunjukkan, di mana warok digambarkan hitam dan putih, pertarungan antara Warok Siman dengan Warok Suromenggolo adalah pertarungan antara jahat dan baik.

Di Ponorogo sendiri, ada berbagai macam variasi cerita mengenai warok, bahkan asal-usul nama Ponorogo, jika ditelusuri, bisa berpangkal dari kisah warok yang lain.

Sementara genealogi  sejarah reog, bisa  ditelusuri dari kisah antara Bantarangin dan Kediri, kisah yang disepakati sebagai pangkal dari terciptanya budaya Reog.

Meskipun sebagian menafsirkan, reog adalah seni pemberontakan, bahwa topeng ukuran besar yang disebut Dadak Merak berkepala singa yang ditunggangi merak itu adalah sindiran keras bagi Raja Brawijaya yang takluk dan memperistri wanita China Siu Ban Ci, singa adalah simbol untuk Brawijaya, dan merak untuk istrinya.

Reog sebagai laku hidup, sebagai budaya yang menghujam di tanah Ponorogo, bisa dilihat dari komponen penting yang tak bisa dilepaskan  dari reog yaitu warok.

Selain menjadi pemimpin rombongan reog,  dalam pertunjukkan, warok berperan sebagai penjaga terselenggaranya pertunjukkan Reog tanpa kerusuhan, tanpa didatangi malapetaka.

Di panggung kecil, saat hari jadi Ponorogo yang jatuh pada bulan Suro, warok menjadi komponen penting yang selalu muncul dalam pementasan reog, bermuka sangar dengan riasan pipi yang dihitam-hitamkan dan dimerah-merahkan, dan memakai jenggot atau brewok palsu, memakai ikat kepala hitam (udeng), baju hitam, dan ikat pinggang putih (usus-usus) .

Warok di panggung itu adalah warok yang artifisial, tetapi bagi orang Ponorogo, warok di panggung besar bernama kehidupan, mereka adalah pimpinan  di desa, warok adalah orang yang sudah mencapai tahap tertinggi sebagai manusia yang bijaksana.

Dalam bahasa Jawa mataraman, warok bisa berarti sesuatu yang kuat. Sebagian menafsirkan kata warok berasal dari bahasa Arab, wara' yang artinya menjauhkan diri dari sifat angkara murka, sehingga warok bisa juga ditafsirkan sebagai sufi, atau kiai, atau pendeta, atau biksu, intinya adalah mereka yang telah menjadi manusia paripurna.

Namun, jika dilihat dari laku yang dijalani oleh warok, yang mengharuskan para Warok berpuasa Pati Geni, ngebleng, dan bersemedi, mereka adalah penghayat Kejawen. Jika para calon warok ini berhasil menjalani laku yang sudah ditetapkan, mereka akan memperoleh linuwih atau kelebihan-kelebihan tertentu.

Setelah mempunyai kelebihan, dalam menjalani kehidupan para warok ini mempraktekan Mo Limo, tidak melakukan madon, mendem, maling, main, madat.

Sebagai warok paripurna, mereka dipercaya untuk memimpin di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, dan sebagian warok menjalani hidup sebagai orang biasa di desa, menjadikan tanah Ponorogo seimbang.

Sehingga jika kau mengunjungi desa-desa di Ponorogo, selain patung-patung reog, kau akan mendapati berbagai macam variasi kisah warok, mengenai kebijakasaan mereka, maupun kesaktian mereka, bagaimanapun Ponorogo adalah tanah para warok.***

4 June 2020

Kepada L (3)

Ilustrasi: Nuhan Kafabih
Sore di bulan Juni itu sedang gerimis. Pakainku masih basah. Begitu juga dengan pakaianmu. Saat itu, kau memakai jaket jeans warna biru gelap. Dan bau parfum aroma kayu menguar dari tubuhmu. Kutarik napasku. Dan kuhirup bau parfummu. Kurasakan sebagian dari dirimu berada di dalam diriku.

Sementara  sore itu,  kita bertemu di Rumah Makan Bening, di Jalan Tangkuban Perahu. Itu pertemuan ketujuh. Setelah lama kita tak bertemu dan tak saling menyapa. Aku masih ingat, saat itu kau berkata seperti mengutip dari sebuah buku:

Kita berbagi ruang dengan yang lain. Hidup di bawah langit yang sama dan di atas bumi yang sama.

Kita berbagi hidup dengan yang lain. Udara yang kita hirup, orang lain pernah menghirupnya pula. Air yang kita minum, orang lain pernah meminumnya pula.

“Tetapi kenapa kita masih berselisih, kenapa ada kami dan mereka?” tanyamu. 

Sementara kulihat tatapan matamu begitu meneduhkan. Seperti pohon dengan reranting dipenuhi dedaunan lebat. Menatap matamu, seolah aku jadi  Sidharta yang bermeditasi dan menemukan pencerahan di bawah pohon Bodhi. Aku mabuk dan lenyap di sana, tak ada lagi aku, tak ada lagi kamu.

Tetapi, katamu, kita sering terjebak dengan tubuh material. Katamu, tubuh material adalah apa yang kita sebut sebagai ‘diri’ untuk membedakan antara aku dan kamu. Dan untuk membedakan kami dan mereka.

“Diri adalah bentuk dari ego,” katamu.

Seperti konsep Plato tentang ikosahedron,  bahwa dalam bentuknya yang paling murni air mempunyai 20 sisi polihedron, yang membikinnya indah seperti butiran kristal. Begitu pula manusia, dalam bentuknya yang paling murni, manusia mempunyai banyak bentuk.

“Tetapi kenapa kita mesti berselisih, bukankah air dengan 20 sisi polihedron justru bisa saling menyatu?” tanyamu. 

Barangkali tubuh material itu yang bikin kita saling berselisih. Barangkali tubuh material itu pula yang membikin orang-orang kulit hitam dari Afrika menjadi budak ratusan tahun. Seperti di Mississippi, Amerika Serikat, latar dari film Django Unchained  Quentin Tarantino itu.

Salah satu scene film itu menggambarkan kensenjangan itu. Kesenjangan antara kulit berwarna putih dan kulit berwarna hitam:

Saat orang-orang kulit hitam bekerja di kebun kapas dan di ladang jagung, para Duke yang berkulit putih itu bercinta di atas kasur kapasnya yang empuk. Mereka adalah budak dari "Monsieur" Calvin J. Candie. Salah satunya adalah Hildi yang kelak dibebaskan oleh Djanggo.

Tetapi hidup lebih rumit dari film Hollywood. Tak semudah Djanggo membebaskan kekasihnya bernama Hildi dari perbudakan dengan ledakkan bubuk mesiu yang ditanam di rumah "Monsieur" Calvin J. Candie, tuan dari Hildi itu.

Ledakkan dari bubuk mesiu itu membikin api bercampur asap membubung tinggi ke langit, siluetnya mengantar Djanggo dan Hildi menjauh dari rumah penuh darah itu, "Monsieur" Calvin J. Candie pun mati. Sementara Hildi pun bebas. Tampak mudah bagi mereka.

Kau juga bercerita tentang sebuah kisah lampau, tentang seorang perempuan yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Perempuan itu, ditinggalkan kekasihnya pada suatu pagi menjelang subuh. Tepat di hari ke 41 pernikahannya.

Pagi hari, saat perempuan itu terbangun, suaminya sudah tak ada di rebahannnya. Maka perempuan itu pun menangis dan meronta seperti singa, tetapi lelaki yang entah pergi kemana, hanya meninggalkan pesan dalam sepucuk surat di bawah bantal rebahannya: kau kira aku pergi padahal aku sedang mengembara di dalam dirimu.

Lalu kau menjelaskan maksud pesan yang ditinggalkan oleh lelaki itu. Katamu, lelaki itu memang tak benar-benar meninggalkan perempuan itu. Sebagian dari diri lelaki itu, berada dalam diri perempuan itu. Sebab, lelaki itu sudah meninggalkan bibit cinta dalam rahim perempuan itu.

"Apakah makna bibit cinta itu harfiah atau metafora?" Aku bertanya.

"Tak penting," katamu.

Sementara di luar gerimis tak kunjung usai. Justru  membesar menjadi hujan. Makin lama makin deras. Kericiknya menimbulkan perasaan tentram. Tapi juga perasaan cemas. "Langit sedang menabur cinta," katamu. Semoga cinta! Dan bukan hal yang lain.

Ilustasi oleh Nuhan Kafabih lahir di Trenggalek 31 Mei 1997. Kini dia bermukim di belantara Malang. Untuk  melihat karya-karyanya yang lain bisa kunjungi akun instragram @hannuhan.

7 May 2020

Perjalanan Soesilo Toer Berziarah ke Makam Kakeknya 'Imam Badjoeri' di Kediri













FOTO : Soesilo Toer, Elyzabet (keponakan Soesilo Toer), dan Bene Toer (anak semata wayang Soesilo Toer). Mereka sedang berada di rumah Elyzabet dan di area  makam keluarga di Belakang Masjid Daarul Jalaal, Jalan Tambangan, Desa/Kecamatan Ngadiluwih Kediri, Sabtu (29/2/2020). Di area makam keluarga itu, Soesilo Toer  melihat makam yang diduga meruapakan makam Imam Bajoeri, kakek Soesilo Toer dan Pramoedya Ananta Toer.

4 January 2020

Kepada L (2)

Ilustrasi: Nuhan Kafabih
Saat kutulis ini, mungkin kau sedang berada di Padang Tikar. Mungkin kau bermain ombak bersama   anak-anak. Atau sedang di kelas dan menemani mereka mengeja atau menulis kata. Kau menyerap keceriaan mereka, sementara mereka menyerap pengetahuan.

Atau mungkin kau menulis puisi di bawah pohon ketapang sambil melihat matahari terbenam. Sementara angin tipis menerpa lembut kerudungmu. Aku belum pernah ke Kalimatan. Namun kadang-kadang di ambang sadar, aku mencium bau laut. Kupikir itu berasal dari pantai yang sama. Pantai yang sering kau kunjungi bersama anak-anak. Bagaimana bau itu bisa sampai di kamar tidurku, itu bukan hal yang penting.

Kakekmu pernah bercerita ada yang dimanakan jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil, itulah yang di dalam. Tubuh material kita sangat terbatas sehingga mudah terbentur dinding di sana-sini. Tapi yang di dalam, kita tak pernah bisa mengontrol.

Aku jadi ingat, terakhir membaca buku adalah buku terbitan lama yang kau berikan kepadaku: syair panjang Nizami, Laela Majnun. Katamu buku itu milik almarhum kakekmu, ia yang suka menulis di tengah malam ditemani cahaya lilin. Ia yang berdansa waltz bersama nenekmu. Ia yang  mengingatkanmu membaca Qurqan di keheningan malam sesaat sebelum kau tidur.

Lalu buku itu kubaca hari demi hari tak ingin cepat kuselesaikan. Kisah dari masa lalu yang jauh tentang Qais dengan kegilaannya, dan Laela dengan kematiannya yang tragis. Mereka seolah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paling rumit menjalani hidup.

Begitu pula dengan film kesukaanmu, Titanic. Kisah antara Jack dan Rose. Jack pemuda sinting yang menang judi dan mendapat tiket kelas tiga untuk berlayar dari Southampton menuju New York. Singkat cerita di kapal itu Jack bertemu dengan Rose dan membebaskannya dari Duke yang angkuh.

Sekejap saja cinta tumbuh di hati mereka. Sayagnya kebahagiaan di antara mereka cuma seumur perjalanan Titanic yang tak pernah sampai tujuan karena terjebak badai salju yang bikin Jack mati. Sementara Rose yang selamat dari badai salju melanjutkan derita cinta.

“Jika cinta itu ada, maka seperti itulah bentuknya,” katamu sesaat setelah bercerita tentang dua kisah yang kau sukai itu. Tapi, aku tak pernah tahu, yang mana yang kau maksud “seperti itu bentuknya” untuk menggambarkan bahwa cinta memang harus tampak demikian. Syair panjang Laela Majnun? Atau kisah Jack dan Rose?

Yang kutahu kedua kisah itu tentang kehilangan. Apa kita harus kehilangan untuk tahu bentuk cinta? Tentu tidak, kita tak perlu kehilangan untuk merasakan cinta. Bagiku cinta bukan soal kepemilikan. Sebab kita tak pernah memiliki apa-apa. Mereka yang tak memiliki apa-apa tak akan kehilangan apa-apa.

Kecuali hidup, cuma itulah yang kita punya, dan itu yang harus kita rawat. Mencintai hidup bagaikan Nietzche dengan Amor fati-nya. Jika hidup itu laut, maka kita pelaut di tengah lautan lepas, kita hanya berlayar dan terus berlayat, tak ada pelabuhan untuk berlabuh. Jika hidup itu bagaikan burung, maka kita burung yang tak punya kaki, kita hanya terbang dan terbang, tak ada tempat untuk hinggap. Seperti petikan puisi Chairil Anwar, “Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati, terbang, mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat.”

Atau mencintai hidup seperti petikan puisi Alfred Tennyeson, “brief is life, but love is long”. Tapi cinta itu apa? Anggap saja cinta adalah ombak yang tak putus-putus. Kita tak pernah bisa mengendalikan ombak, karena ombak punya pikirannya sendiri.

Jadi apa kabar kau yang di Padang Tikar? Apa kau juga ingat tentang kisah Sjahrir dari buku yang kita pinjam di perpustakaan kampus itu, bahwa dahulu Sjahrir dibuang di Banda Naera. Lalu ia mengajar anak-anak. Mengajak mereka bermain di pantai. Mengajak mereka untuk mengejar ombak. Dan untuk sesaat ia bisa melupakan Indonesia. Ia menyerap keceriaan mereka, sementara mereka menyerap pengetahuan. Seperti yang ia tulis dalam sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936, “Mereka… adalah teman terbaik yang saya miliki.”

Ilustrasi oleh Nuhan Kafabih lahir di Trenggalek 31 Mei 1997. Kini dia bermukim di belantara Malang. Untuk  melihat karya-karyanya yang lain bisa kunjungi akun instragram @hannuhan.