4 June 2020

Kepada L (3)

Ilustrasi: Nuhan Kafabih
Sore di bulan Juni itu sedang gerimis. Pakainku masih basah. Begitu juga dengan pakaianmu. Saat itu, kau memakai jaket jeans warna biru gelap. Dan bau parfum aroma kayu menguar dari tubuhmu. Kutarik napasku. Dan kuhirup bau parfummu. Kurasakan sebagian dari dirimu berada di dalam diriku.

Sementara  sore itu,  kita bertemu di Rumah Makan Bening, di Jalan Tangkuban Perahu. Itu pertemuan ketujuh. Setelah lama kita tak bertemu dan tak saling menyapa. Aku masih ingat, saat itu kau berkata seperti mengutip dari sebuah buku:

Kita berbagi ruang dengan yang lain. Hidup di bawah langit yang sama dan di atas bumi yang sama.

Kita berbagi hidup dengan yang lain. Udara yang kita hirup, orang lain pernah menghirupnya pula. Air yang kita minum, orang lain pernah meminumnya pula.

“Tetapi kenapa kita masih berselisih, kenapa ada kami dan mereka?” tanyamu. 

Sementara kulihat tatapan matamu begitu meneduhkan. Seperti pohon dengan reranting dipenuhi dedaunan lebat. Menatap matamu, seolah aku jadi  Sidharta yang bermeditasi dan menemukan pencerahan di bawah pohon Bodhi. Aku mabuk dan lenyap di sana, tak ada lagi aku, tak ada lagi kamu.

Tetapi, katamu, kita sering terjebak dengan tubuh material. Katamu, tubuh material adalah apa yang kita sebut sebagai ‘diri’ untuk membedakan antara aku dan kamu. Dan untuk membedakan kami dan mereka.

“Diri adalah bentuk dari ego,” katamu.

Seperti konsep Plato tentang ikosahedron,  bahwa dalam bentuknya yang paling murni air mempunyai 20 sisi polihedron, yang membikinnya indah seperti butiran kristal. Begitu pula manusia, dalam bentuknya yang paling murni, manusia mempunyai banyak bentuk.

“Tetapi kenapa kita mesti berselisih, bukankah air dengan 20 sisi polihedron justru bisa saling menyatu?” tanyamu. 

Barangkali tubuh material itu yang bikin kita saling berselisih. Barangkali tubuh material itu pula yang membikin orang-orang kulit hitam dari Afrika menjadi budak ratusan tahun. Seperti di Mississippi, Amerika Serikat, latar dari film Django Unchained  Quentin Tarantino itu.

Salah satu scene film itu menggambarkan kensenjangan itu. Kesenjangan antara kulit berwarna putih dan kulit berwarna hitam:

Saat orang-orang kulit hitam bekerja di kebun kapas dan di ladang jagung, para Duke yang berkulit putih itu bercinta di atas kasur kapasnya yang empuk. Mereka adalah budak dari "Monsieur" Calvin J. Candie. Salah satunya adalah Hildi yang kelak dibebaskan oleh Djanggo.

Tetapi hidup lebih rumit dari film Hollywood. Tak semudah Djanggo membebaskan kekasihnya bernama Hildi dari perbudakan dengan ledakkan bubuk mesiu yang ditanam di rumah "Monsieur" Calvin J. Candie, tuan dari Hildi itu.

Ledakkan dari bubuk mesiu itu membikin api bercampur asap membubung tinggi ke langit, siluetnya mengantar Djanggo dan Hildi menjauh dari rumah penuh darah itu, "Monsieur" Calvin J. Candie pun mati. Sementara Hildi pun bebas. Tampak mudah bagi mereka.

Kau juga bercerita tentang sebuah kisah lampau, tentang seorang perempuan yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Perempuan itu, ditinggalkan kekasihnya pada suatu pagi menjelang subuh. Tepat di hari ke 41 pernikahannya.

Pagi hari, saat perempuan itu terbangun, suaminya sudah tak ada di rebahannnya. Maka perempuan itu pun menangis dan meronta seperti singa, tetapi lelaki yang entah pergi kemana, hanya meninggalkan pesan dalam sepucuk surat di bawah bantal rebahannya: kau kira aku pergi padahal aku sedang mengembara di dalam dirimu.

Lalu kau menjelaskan maksud pesan yang ditinggalkan oleh lelaki itu. Katamu, lelaki itu memang tak benar-benar meninggalkan perempuan itu. Sebagian dari diri lelaki itu, berada dalam diri perempuan itu. Sebab, lelaki itu sudah meninggalkan bibit cinta dalam rahim perempuan itu.

"Apakah makna bibit cinta itu harfiah atau metafora?" Aku bertanya.

"Tak penting," katamu.

Sementara di luar gerimis tak kunjung usai. Justru  membesar menjadi hujan. Makin lama makin deras. Kericiknya menimbulkan perasaan tentram. Tapi juga perasaan cemas. "Langit sedang menabur cinta," katamu. Semoga cinta! Dan bukan hal yang lain.

Ilustasi oleh Nuhan Kafabih lahir di Trenggalek 31 Mei 1997. Kini dia bermukim di belantara Malang. Untuk  melihat karya-karyanya yang lain bisa kunjungi akun instragram @hannuhan.