16 May 2023

Cerita Kami Menuju Pernikahan

Ada banyak alasan untuk menikah. Ada banyak pula alasan untuk tidak menikah. Tapi jika boleh beramsumsi, mayoritas manusia di bumi ini memilih menikah, dengan berbagai alasannya masing-masing.

Menikah itu sederhana, kata penganjur pernikahan. Tinggal datang ke KAU, membawa mahar, melangsungkan akad, terjadilah pernikahan (jika beragama Islam).

Kenyataannya tak sesedarhana itu, menikah butuh mengorbankan waktu, tenaga, dan materi.

Belum lagi setelah menikah, akan ada banyak masalah yang tak berujung, masalah menyatukan visi antar pasangan,masalah rumah yang makin mahal hingga banyak keluarga yang seumur hidup tak mampu beli rumah, masalah membesarkan anak, masalah menjadi warga masyarakat setelah pernikahan, dan lain-lain (masalah umum paska nikah di Indonesia).  

Itu pula yang bikin banyak orang memilih menunda, atau memilih tak menikah.

Menyatukan Visi

Tapi kami sepakat, ada dua hal yang menjadi masalah utama setelah menikah yang tak boleh jadi bahan pertengkaran, mengutip kata Cak Nun, dua hal itu seperti ini:

"Ada dua hal yang tidak pernah boleh menjadi bahan pertengkaran.

Yang pertama, masalah uang. Uang itu biar ada, biar nggak ada, biar lebih, biar kurang, tidak boleh menjadi tema pertengkaran. Begitu kita sedikit bertengkar mengenai uang, segera harus saling mentertawakan, dan kita harus sanggup meremehkan uang.

Yang kedua, seks. Seks itu mau 6 bulan ndak sempat, mau sehari sempat 10 kali, itu ndak boleh jadi bahan pertengkaran. Emangnya sapi kita? kok Bertengkar soal seks.”

Cak Nun benar, dari banyak alasan gugat cerai di Pengadilan Agama di luar alasan perselingkuhan (yang memang tak bisa ditolerensi), dua alasan di atas adalah masalah utama.

Begitu dua hal di atas jadi bahan pertengkaran, maka akan ada pertengkaran tak berujung, dan akhirnya memilih cerai.

Maka dua hal ini, akan selalu kami ingat sebelum dan sesudah kami menikah kelak, karena kami percaya pernikahan itu untuk selamanya.

Butuh waktu untuk menyatukan visi  bahwa kami memang yakin untuk menikah. Meskipun terbilang sebentar jika dibandingkan dengan beberapa orang yang perlu 5-6 tahun hingga akhirnya mereka yakin untuk menikah.

Bulan Juni 2022, kami saling DM di IG, berlanjut ke WhatsApp. Bulan Juli, kami bertemu di Gresik. Obrolan kami singkat saja, kurang lebih 1 jam.  Lalu kami berpisah, aku kembali ke kos di Wonokromo, Prili pulang ke Ngawi, tapi masing-masing dari kita pulang membawa satu hal: keyakinan.

Keyakinan bahwa visi kami sama, tidak ada perbedaan pandangan soal pernikahan.

Setelah itu, beberapa minggu sekali, aku pulang-pergi dari Surabaya-Ngawi. Naik bis, turun di Terminal Caruban. Kadang berangkat pukul 03.00 pagi, dan tiba lagi di Surabaya pukul 02.00 pagi. Lelaki tak boleh terlihat lemah di depan perempuan.

Bulan Juli, kami mulai menyiapkan lamaran. Menabung secukupnya untuk biaya lamaran. Membeli cicin, baju, dan biaya perjalanan.

Bulan Oktober, aku resmi melamarnya. Dan beberapa hari setelahnya, langsung terbang ke Jakarta, urusan kerja.

Hari-hari menjadi panjang, kami menjalani hubungan jarak jauh, kini kesabaran kami benar-benar diuji.

Meskipun akhirnya, aku bisa pulang ke Trenggalek di bulan Desember, dua minggu sebelum tahun baru 2023, tujuh bulan sebelum hari pernikahan kami.

Jarak makin dekat,  jika dibandingkan Jakarta-Ngawi, tapi bukan berarti tak ada masalah. Tentu ada drama-drama kecil, tapi bagi kami, itu semua ibarat pupuk bagi pohon yang sedang bertumbuh.

Kami belajar banyak misalnya pernikahan bukan saja tentang aku dan kamu, tapi juga tentang menyatukan dua keluarga.

Kami harus belajar akan ada masalah yang datangnya bukan dari kami, tapi juga dari luar, yang kadang tak bisa dikontrol.