Ilustrasi: Nuhan Kafabih |
Kakekmu pernah bercerita ada yang
dimanakan jagad kecil dan jagad besar. Jagad kecil, itulah yang di dalam. Tubuh
material kita sangat terbatas sehingga mudah terbentur dinding di sana-sini.
Tapi yang di dalam, kita tak pernah bisa mengontrol.
Aku jadi ingat, terakhir membaca
buku adalah buku terbitan lama yang kau berikan kepadaku: syair panjang Nizami,
Laela Majnun. Katamu buku itu milik almarhum kakekmu, ia yang suka menulis di
tengah malam ditemani cahaya lilin. Ia yang berdansa waltz bersama nenekmu. Ia
yang mengingatkanmu membaca Qurqan di keheningan
malam sesaat sebelum kau tidur.
Lalu buku itu kubaca hari demi hari
tak ingin cepat kuselesaikan. Kisah dari masa lalu yang jauh tentang Qais
dengan kegilaannya, dan Laela dengan kematiannya yang tragis. Mereka seolah
menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paling rumit menjalani hidup.
Begitu pula dengan film kesukaanmu, Titanic.
Kisah antara Jack dan Rose. Jack pemuda sinting yang menang judi dan mendapat
tiket kelas tiga untuk berlayar dari Southampton menuju New York. Singkat
cerita di kapal itu Jack bertemu dengan Rose dan membebaskannya dari Duke yang
angkuh.
Sekejap saja cinta tumbuh di hati
mereka. Sayagnya kebahagiaan di antara mereka cuma seumur perjalanan Titanic yang
tak pernah sampai tujuan karena terjebak badai salju yang bikin Jack mati.
Sementara Rose yang selamat dari badai salju melanjutkan derita cinta.
“Jika cinta itu ada, maka seperti
itulah bentuknya,” katamu sesaat setelah bercerita tentang dua kisah yang kau
sukai itu. Tapi, aku tak pernah tahu, yang mana yang kau maksud “seperti itu
bentuknya” untuk menggambarkan bahwa cinta memang harus tampak demikian. Syair
panjang Laela Majnun? Atau kisah Jack dan Rose?
Yang kutahu kedua kisah itu tentang
kehilangan. Apa kita harus kehilangan untuk tahu bentuk cinta? Tentu tidak,
kita tak perlu kehilangan untuk merasakan cinta. Bagiku cinta bukan soal
kepemilikan. Sebab kita tak pernah memiliki apa-apa. Mereka yang tak memiliki
apa-apa tak akan kehilangan apa-apa.
Kecuali hidup, cuma itulah yang kita
punya, dan itu yang harus kita rawat. Mencintai hidup bagaikan Nietzche dengan Amor fati-nya. Jika hidup itu laut, maka
kita pelaut di tengah lautan lepas, kita hanya berlayar dan terus berlayat, tak
ada pelabuhan untuk berlabuh. Jika hidup itu bagaikan burung, maka kita burung
yang tak punya kaki, kita hanya terbang dan terbang, tak ada tempat untuk hinggap.
Seperti petikan puisi Chairil Anwar, “Mari
kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati, terbang, mengenali gurun,
sonder ketemu, sonder mendarat.”
Atau mencintai hidup seperti petikan
puisi Alfred Tennyeson, “brief is life,
but love is long”. Tapi cinta itu apa? Anggap saja cinta adalah ombak yang tak
putus-putus. Kita tak pernah bisa mengendalikan ombak, karena ombak punya
pikirannya sendiri.
Jadi apa kabar kau yang di Padang
Tikar? Apa kau juga ingat tentang kisah Sjahrir dari buku yang kita pinjam di
perpustakaan kampus itu, bahwa dahulu Sjahrir dibuang di Banda Naera. Lalu ia
mengajar anak-anak. Mengajak mereka bermain di pantai. Mengajak mereka untuk mengejar
ombak. Dan untuk sesaat ia bisa melupakan Indonesia. Ia menyerap keceriaan
mereka, sementara mereka menyerap pengetahuan. Seperti yang ia tulis dalam
sepucuk surat bertanggal 25 Februari 1936, “Mereka… adalah teman terbaik yang
saya miliki.”
Ilustrasi oleh Nuhan Kafabih lahir di Trenggalek 31 Mei 1997. Kini dia bermukim di belantara Malang. Untuk melihat karya-karyanya yang lain bisa kunjungi akun instragram @hannuhan.
Ilustrasi oleh Nuhan Kafabih lahir di Trenggalek 31 Mei 1997. Kini dia bermukim di belantara Malang. Untuk melihat karya-karyanya yang lain bisa kunjungi akun instragram @hannuhan.
Mantap Bang
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete