Ada banyak alasan untuk menikah. Ada banyak pula alasan untuk tidak menikah. Tapi jika boleh beramsumsi, mayoritas manusia di bumi ini memilih menikah, dengan berbagai alasannya masing-masing.
Menikah itu sederhana, kata penganjur pernikahan. Tinggal datang ke KAU, membawa mahar, melangsungkan akad, terjadilah pernikahan (jika beragama Islam).Kenyataannya tak
sesedarhana itu, menikah butuh mengorbankan waktu, tenaga, dan materi.
Belum lagi setelah
menikah, akan ada banyak masalah yang tak berujung, masalah menyatukan visi antar
pasangan,masalah rumah yang makin mahal hingga banyak keluarga yang seumur
hidup tak mampu beli rumah, masalah membesarkan anak, masalah menjadi warga
masyarakat setelah pernikahan, dan lain-lain (masalah umum paska nikah di
Indonesia).
Itu pula yang bikin
banyak orang memilih menunda, atau memilih tak menikah.
Menyatukan Visi
Tapi kami sepakat, ada dua hal yang menjadi masalah utama setelah menikah yang tak
boleh jadi bahan pertengkaran, mengutip kata Cak Nun, dua hal itu seperti ini:
"Ada dua hal yang
tidak pernah boleh menjadi bahan pertengkaran.
Yang pertama, masalah
uang. Uang itu biar ada, biar nggak ada, biar lebih, biar kurang, tidak boleh
menjadi tema pertengkaran. Begitu kita sedikit bertengkar mengenai uang, segera
harus saling mentertawakan, dan kita harus sanggup meremehkan uang.
Yang kedua, seks. Seks
itu mau 6 bulan ndak sempat, mau sehari sempat 10 kali, itu ndak boleh jadi
bahan pertengkaran. Emangnya sapi kita? kok Bertengkar soal seks.”
Cak Nun benar, dari
banyak alasan gugat cerai di Pengadilan Agama di luar alasan perselingkuhan
(yang memang tak bisa ditolerensi), dua alasan di atas adalah masalah utama.
Begitu dua hal di atas
jadi bahan pertengkaran, maka akan ada pertengkaran tak berujung, dan akhirnya
memilih cerai.
Maka dua hal ini, akan
selalu kami ingat sebelum dan sesudah kami menikah kelak, karena kami percaya
pernikahan itu untuk selamanya.
Butuh waktu untuk menyatukan
visi bahwa kami memang yakin untuk
menikah. Meskipun terbilang sebentar jika dibandingkan dengan beberapa orang
yang perlu 5-6 tahun hingga akhirnya mereka yakin untuk menikah.
Bulan Juni 2022, kami
saling DM di IG, berlanjut ke WhatsApp. Bulan Juli, kami bertemu di Gresik. Obrolan
kami singkat saja, kurang lebih 1 jam. Lalu
kami berpisah, aku kembali ke kos di Wonokromo, Prili pulang ke Ngawi, tapi
masing-masing dari kita pulang membawa satu hal: keyakinan.
Keyakinan bahwa visi
kami sama, tidak ada perbedaan pandangan soal pernikahan.
Setelah itu, beberapa
minggu sekali, aku pulang-pergi dari Surabaya-Ngawi. Naik bis, turun di
Terminal Caruban. Kadang berangkat pukul 03.00 pagi, dan tiba lagi di Surabaya
pukul 02.00 pagi. Lelaki tak boleh terlihat lemah di depan perempuan.
Bulan Juli, kami mulai
menyiapkan lamaran. Menabung secukupnya untuk biaya lamaran. Membeli cicin,
baju, dan biaya perjalanan.
Bulan Oktober, aku
resmi melamarnya. Dan beberapa hari setelahnya, langsung terbang ke Jakarta,
urusan kerja.
Hari-hari menjadi
panjang, kami menjalani hubungan jarak jauh, kini kesabaran kami benar-benar diuji.
Meskipun akhirnya, aku
bisa pulang ke Trenggalek di bulan Desember, dua minggu sebelum tahun baru
2023, tujuh bulan sebelum hari pernikahan kami.
Jarak makin dekat, jika dibandingkan Jakarta-Ngawi, tapi bukan berarti tak ada masalah. Tentu ada drama-drama kecil, tapi bagi kami, itu semua ibarat pupuk bagi pohon yang sedang bertumbuh.
Kami belajar banyak misalnya pernikahan bukan saja tentang aku dan kamu, tapi juga tentang menyatukan dua keluarga.
Kami harus belajar akan ada masalah yang datangnya bukan dari kami, tapi juga dari luar, yang kadang tak bisa dikontrol.