16 January 2021

Diburu Gara-gara Jual Tetralogi Buru

Ini cerita menarik dari Pak Bambang: orang Krian, Sidoarjo, yang kini tinggal di Kediri. Kami bertemu dengannya bulan September 2020 lalu di Kediri.

Pak Bambang sebetulnya bukan aktivis politik atau intelektual. Dia hanya orang biasa saja. Tapi dalam suatu peristiwa, dia harus berurusan dengan Badan Intelijen Negara (BAKIN).

Pada tahun 1980-an, Pak Bambang yang asli Krian merantau ke Jakarta. Ikut rombongan Ludruk Mandala dari Malang, Jawa Timur. Dalam rombongan itu, Pak Bambang bertugas sebagai penjual karcis.

Di Jakarta, Pak Bambang bergaul dengan para seniman. Dia juga bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer.

Pertemuannya dengan Pram  berawal dari tetangganya mantan perwira Angkatan Udara (AU). Tetannga Pak Pambang itu, satu barak di penjara Pulau Buru dengan Pramoedya Ananta Toer.

Berawal dari tetangganya, Pak Bambang pernah singgah di rumah Pram yang berada di Jalan Pramuka. Saat itu, Pram sudah menerbitkan novel Bumi Manusia.

Novel itu dijual dari tangan ke tangan. Di sela-sela kegiatan rutinnya menjual karcis Ludruk Mandala, Pak Bambang berjualan novel Bumi Manusia.

“Mahasiswa-mahasiswa  akeh sing tuku novel Bumi Manusia kui. Lha pikirku kan golek pangan,” kata Pak Bambang.

Sayangnya, tahun 1981, novel Bumi Manusia resmi dilarang oleh pemerintah melalui Jaksa Agung. Waktu itu Pak Bambang belum mengetahui jika buku yang dijualnya dilarang pemerintah.

Suatu hari, Pak Bambang ketangkap basah menjual Bumi Manusia. Maka dia dibawa ke kantor Badan Intelijen Negara (BIN), waktu itu masih bernama Badan Koordinasi Intelijen( BAKIN) di  Jalan Darmajaya Pejaten, Jakarta Selatan.

Selanjutnya, Pak Bambang diwajibkan absen sekali seminggu pada hari Senin, di kantor BAKIN. Saat itu, Pak Bambang heran. Maklum dia tak sepenuhnya memahami situasi. Niatnya jualan novel itu hanya sekadar untuk menambah isi dompet diperantauan di Jakarta.

Tambah heran lagi, menurutnya, isi novel Bumi Manusia tak ada yang menyinggung soal politik. Kata Pak Bambang, novel itu hanya bercerita soal pabrik gula.

“Terus aku ngene, mikirku buku kui nyritakne pabrik gulo kok dilarang. Bumi Manusia kan nyritakne pabrik gulo tulangan kui kan?”

 Bertahun-tahun Pak Bambang menjalani wajib absen. Hingga pada tahun 1989, ada pergantian struktural di BAKIN yang membuat Pak Bambang dibebaskan dari wajib absen tiap minggu.

“Jaman iku sik durung BIN, jenenge BAKIN. Kepalane Yoga Soegomo. Barang ganti kepala Pak Sudibyo, bojone kan seniman, dadi aku slamet ora perlu absen maneh,” tutur Pak Bambang.

Sementara dari pertemuannya dengan Pram waktu itu, tak banyak cerita yang dia dapat. Hanya cerita yang sudah banyak orang ketahui. Seperti cerita Pram selama di Pulau Buru bagaimana proses kreatif Tetralogi Buru, tak hanya ditulis, tapi juga dituturkan secara lisan pada teman-temannya. 

Pram khawatir jika novel itu ditulis, militer akan menyita draf itu, atau membakarnya, sehingga ia tuturkan alur cerita itu pada teman-temannya, agar menjadi ingatan kolektif, sehingga mereka juga ikut menjaga jika sewaktu-waktu naskah Tetralogi Buru disita atau dibakar, masih ada yang mengingatnya selain Pram.

Cerita tutur pada teman-temannya itu membuat Pram dapat mengingat dengan baik alur cerita dan karakter dari Tetralogi Buru itu.

Maka ketika dia dibebaskan dari Pulau Buru pada tahun 1979, Pram bisa dengan segera menyelesaikan Tetralogi Buru. Yang pertama kali terbit pada bulan Agustus 1980.

Cerita menarik yang belum tercatat barangkali mengenai tahanan di Pulau Buru. Cerita itu disampaikan oleh Pramoedya, katanya, di barak penjara Pulau Buru tak semua tahanan berstatus Tahanan Politik (Tapol). Ada juga tahanan kriminal yang ikut dibuang ke Pulau Buru.

“Sing ora kecathet iku ngene, dadi ketika Pak Pram digowo, iku sak barak iku ternyata duduk Tapol kabeh.  Onok maling barang. Wong Mojokerto iku wong sepeda. Waktu pemberangkatan  dibudalno,” kata Pak Bambang.

No comments:

Post a Comment