8 January 2021

Obrolan Singkat Mengenai Majalah Tempo dan Hal Lainnya

 

Saya bertemu Iwan Setiawan (mantan jurnalis Majalah Tempo) bulan September 2020  di Kediri, atas ajakan Den Basito. Malam itu saya berada di Pondok Alabama, Pare. Tiba-tiba panggilan telepon dari Den Basito  masuk ke HP saya.

Dia meminta saya untuk menemaninya menemui Iwan Setiawan di Sendang Tirto Kamandanu, Pagu, Kediri.  "Oke, aku ikut," jawab saya, hitung-hitung dapat cerita menarik dari Iwan Setiawan.

Perjalanan dari Pare sekitar pukul 22.00,  tiba di Sedang Tirto Kamandanu sekitar pukul 22.30. Iwan Setiawan sedang duduk di warung kopi  bersama Pak Bambang (punya kisah menarik mengenai pertemuannya dengan Pramoedya Ananta Toer ketika ikut rombongan Ludruk Mandala sebagai penjual tiket di Jakarta pada tahun 1980-an).

Saya dan Den Basito ikut nimbrung bersama mereka. Perkiraan usia Iwan Setiawan sekitar 50 tahun. Saya sempat memanggilnya Pak, tapi saya diminta memanggilnya Mas Iwan. “Panggil saya Mas saja,” katanya.

Mas Iwan merupakan orang yang suka bercerita, saya tanya sedikit, Mas Iwan langsung bercerita mengenai pengalaman selama bekerja di Majalah Tempo, tentu tak mendetail, hanya sebatas obrolan di warung kopi.

Sayangnya, saya tak bisa merunut keseluruhan dari cerita Mas Iwan karena terkendala beberapa hal. Dalam obrolan itu, kami menggunakan bahasa Jawa, saya dengan aksen Trenggalek, sementara Mas Iwan dengan aksen Surabaya campur Jawa Tengah (Mas Iwan kelahiran Semarang), dan kadang diselipi kalimat Inggris dan Indonesia.

Sepemahaman saya, kurang lebih begini obrolan itu: Mas Iwan merupakan jurnalis Majalah Tempo setelah terbit kembali pada tahun 1998. Sebelumnya, Majalah Tempo pernah diberedel pada 1994.

Ketertarikan Mas Iwan terhadap jurnalisme, bermula ketika ikut pelatihan jurnalistik di Kompas. Namun, selama pelatihan itu, dia mengaku tak suka dengan gaya kerja Kompas yang banyak membatasi pemberitaan, tak semua isu diberitakan.

"Goro-goro ndisik melu pelatihan jurnalistik, studi banding nek Kompas ndilok nek list withboard, hari ini Pak Harto ketemu perdana menteri China tidak boleh diliput, Moerdiono ketemu siapa, nggak boleh diliput. Kompas ki ndak memberitakan, tapi menjadi fungsi humas kekuasaan," kata Mas Iwan.

Mas Iwan mengikuti pelatihan jurnalistik di Kompas itu sebelum bergabung di Majalah Tempo. Menurutnya, Kompas terlalu main aman dengan kekuasaan. Bahkan bahasa yang dipakai Kompas terlalu bersayap sehingga bisa ditafsirkan ke kanan dan ke kiri.

"Aku ora tau langganan Kompas. Maca koran Kompas  marai budrekno pikiran kok. Karena logikane gak lempeng, bahasane terlalu bersayap, ditafsirkan mrene isa, mrono isa," katanya.

Setelah itu, Mas Iwan mencoba menjadi jurnalis di Majalah Tempo, dan langsung kerasan dengan atmosfer kerjanya. Katanya, di Malajah Tempo, dia belajar jadi fighter. Menulis peristiwa seperti apa adanya, berani mengambil resiko konfrontasi dengan siapa saja, termasuk kekuasaan.

"Tempo ndisik belajare nulis ngono iku percobaan setahun. Kalau masih meragukan tambahi setengah tahun eneh, tetep ora iso coret, bar kui tendang," kata Mas Iwan.

Mas Iwan sempat menyinggung soal liputannya dengan Tomy Winata (TW), dan Tomy Soeharto, sayangnya saya tak begitu menangkap ceritanya.

Yang menarik, soal kenangannya dengan Goenawan Mohammad dan konsistensinya menulis Catatan Pinggir di Majalah Tempo. Menurutnya  Goenawan Mohammad itu pulang dari kantor paling malam di antara karyawan lainnya.

“Tempo mau terbit aja tidur di bawah kolong. Aku lihat sendiri, turu Pak. Dilembaran koran iku lo,” kenang Mas Iwan.

Soal konsistensi Goenawan Mohammad menulis di rubrik Catatan Pinggir itu yang tak pernah kehabisan ide, menurut Mas Iwan, karena Goenawan Mohammad selalu menyempatkan diri untuk membaca buku.

“Yang pasti dia itu maca, bendino, yang aku tau lo ya, Senin sampai Jumat itu, meski kantor sudah tutup, dia itu tetap baca,” kata Mas Iwan.

Begitulah obrlolan singkat dengan Mas Iwan mengenai Majalah Tempo. Selebihnya, kami mengobrol soal hal lain.

Setelah di Tempo, Mas Iwan sempat di SCTV, lalu kini sibuk berbisnis kopi. Punya produk sangrai kopi sendiri. Selain itu, dia juga sedang menjadi pejalan.

Pada September 2020 lalu, di Kediri hanyalah persinggahan, tujuannya waktu itu ke Bali. Mas Iwan memang bukan hanya menjadi pejalan menyinggahi satu kota ke kota lain. Tapi, dia juga sedang melakukan semacam perjalanan spiritual.

No comments:

Post a Comment